Membersihkan Jiwa

التزكية النفوس

Pembersihan jiwa (Tazkiyatun Nafs) ini adalah tugas Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam yang diberikan oleh Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ sebagaimana firman-Nya:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasūl di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS al-Jumū’ah : 2)

Dari ayat di atas, para mufassirin menerangkan bahwa di antara tugas Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam kepada umatnya adalah:

1.menyampaikan ayat-ayat Allôh

2.membersihkan atau mensucikan jiwa mereka

3.mengajarkan kitab dan sunnah kepada mereka.

Dan dari ayat di atas juga bisa diketahui bahwa umat manusia sebelum datangnya Rasūlullâh, dalam keadaan sesat yang nyata, berupa kemusyrikan, kemerosotan akhlak dan mereka dalam puncak kejahiliyahan.

Dalam keadaan masyarakat Jahiliyah seperti itu, lalu datanglah Rasūlullâh dengan membawa Islam yang telah dinyatakan sempurna dan mendapat ridha dari Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu”.(Al-Mâ`idah: 3).

Tugas para Rasūl yang paling utama dan yang pertama dilakukan adalah membersihkan keyakinan-keyakinan atau aqidah dari segala bentuk kesyirikan, mengembalikan manusia dari penyembahan kepada selain Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ kepada asalnya menyembah kepada Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasūlpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.(Al-Anbiyâ` : 25).

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu menyatakan: “Ibadah adalah mentaati Allôh dan dengan mencontoh apa-apa yang diperintahkan Allôh padanya melalui lisan para Rasūl”.

Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu juga menyatakan: “Ibadah adalah nama (aktivitas) yang mencakup setiap perkataan atau berupa perbuatan yang dicintai dan diridhai oleh Allôh yang dhahir maupun batin”.

Ibadah yang diterima oleh Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ adalah ibadah yang hanya dilakukan oleh seorang muslim dengan ikhlâsh dan mutâba’ah (mengikuti) tuntunan Rasūlullâh. Ibadah yang dilakukan dengan tidak ikhlâsh tidak akan diterima oleh Allôh, begitu juga ibadah yang dilakukan tanpa mutâba’ah akan sia-sia. Hal yang pertama: membersihkan niat dari semua kotoran yang akan merusak keikhlâshan dan yang kedua membersihkan ibadah dari semua bid’ah bikinan manusia yang merusak agama.

Para ulama mengatakan ikhlâsh itu adalah membersihkan tujuan taqqarub kepada Allôh dari semua kotoran (syirik). Ikhlâsh ini adalah termasuk amalan hati seperti takut (khauf), pengharapan, tawakkal, raghbah (cinta), rahbah (takut), khusyū`, dan khasyyah (takut).

Khauf artinya perasaan takut akan terjadinya sesuatu yang membinasakan. Khauf ini ada dua macam:

1.Khauf thabi’i (takut bawaan), seperti manusia takut pada binatang buas, api, dll.

2.Khauf ibadah, yaitu takut kepada sesuatu yang ia beribadah karena takut kepadanya. Takut yang semacam ini tidak boleh kecuali hanya ditujukan kepada Allôh, sedangkan memalingkannya kepada selain Allôh adalah syirik akbâr. Pada masa sebelum Rasūlullâh sampai sekarang ini banyak sekali orang takut kepada sesuatu yang dianggap keramat atau bertuah atau mempunyai kekuatan ghaib seperti kuburan wali-wali (kyai, ustad, ajengan atau habib), keris, tombak, patung-patung, pohon, batu akik, jimat-jimat, dll, sehingga mereka melakukan pengorbanan dan peribadatan dalam waktu dan cara yang sama sekali tidak disyariatkan oleh Allôh.

– Roja’ artinya pengharapan, yaitu keinginan seseorang untuk mendapatkan sesuatu. Pengharapan pada waktu seseorang mengerjakan ibadah tidak boleh kecuali hanya kepada Allôh, dan memalingkannya kepada selain Allôh adalah syirik.

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya”.(QS Al-Kahfi: 110).

– Tawakkal artinya menyandarkan sesuatu kepada sesuatu. Bertawakkal kepada Allôh maknanya adalah menyandarkan kepada Allôh sebagai pencukup dalam mendapatkan manfaat dan menolak mudhârat.

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan hanya kepada Allôh hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.(Al-Mâ`idah: 23).

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allôh, niscaya Allôh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allôh melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya”. (Ath-Thalâq: 3).

Dalam masalah ini banyak sekali orang yang tersesat yaitu mereka bertawakkal kepada selain Allôh dengan cara memakai atau menyimpan benda-benda yang mereka yakini mempunyai kekuatan seperti sabuk, kalung atau gelang yang berisi jimat-jimat, batu akik, keris, dll.

– Raghbah yaitu keinginan untuk mencapai sesuatu yang dicintai.

– Rahbah yaitu ketakutan yang membuahkan pelarian dari sesuatu yang ditakuti atau takut yang disertai tindakan untuk menanggulangi ketakutannya.

– Khusyu’ adalah tunduk merendah kepada keagungan Allôh dengan menyerah kepada semua ketentuan Allôh.

– Khasyyah adalah ketakutan yang didasari oleh ilmu tentang keagungan Dzat yang ditakuti dan kesempurnaan kekuasaan, seperti firman Allôh:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allôh di antara hamba-hambaNya, hanyalah ulama”. (Fâthir: 28).

Penyakit-penyakit hati yang berkaitan dengan masalah aqidah inilah yang pertama kali harus dibersihkan pada diri seseorang karena penyakit ini, seseorang tidak dapat membedakan yang haq dari yang bâthil, sunnah dari bid’ah, tauhid dari syirik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Amrâdhul Qulub wa Syifâ’uha mengatakan: “Penyakit hati adalah jenis kerusakan yang menimpanya, penyebab kerusakan pemikiran dan kehendak. Kerusakan pemikiran ini karena adanya syubhat-syubhat (kesamaran-kesamaran) sehingga tidak bisa melihat kebenaran (al-haq) atau dapat melihat kebenaran tapi berlainan dengan apa yang seharusnya ada. Sedangkan kehendaknya (penyakit hati) yaitu membenci kebenaran dan menyukai kebathilan”.

Allôh berfirman:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allôh penyakitnya” (Al-Baqarah: 10).

Adakah obat penyakit semacam ini? Jawabnya tentu saja ada, sebab Allôh berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`ân suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang- orang yang beriman dan Al-Qur`ân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”.(Al-Israa’: 82).

Al-Imam Ibnu Katsîr menyatakan dalam tafsirnya:

أي: يذهب ما في القلوب من أمراض، من شك ونفاق، وشرك وزيغ وميل، فالقرآن يشفي من ذلك كله

“(Al-Qur`ân) akan menghilangkan penyakit-penyakit yang ada di dalam hati seperti (penyakit) ragu, nifaq (kemunafikan), syirik, dll. Maka Al-Qur`ân akan menyembuhkan semuanya itu”.

Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Allôh tidak menurunkan penyakit kecuali Allôh menurunkan obat untuknya”.(HR. Al-Bukhârî).

Tidak ada yang lain, obat semua penyakit hati (jiwa) adalah ilmu syar’i yaitu ilmu Al-Qur`ân dan As-Sunnah.

Nabi Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allôh padanya kebaikan (maka) Allôh akan memahamkannya dalam masalah dîn (agama)”.(HR. Bukhari dan Muslim).

Ibnul Qayîm mengatakan: “Kebodohan itu penyakit yang mematikan, dan obatnya adalah dua perkara yang disepakati dalam satu susunan; yaitu nash dari Al-Qur`ân atau dari As-Sunnah, sedangkan dokter penyakit kebodohan itu adalah orang ‘âlim rabbâni”.

Oleh karena itu setiap orang harus mengobati penyakit (kebodohan) yang dia derita dengan obatnya yaitu ilmu syar’î dan seorang ‘âlim sebagai dokternya dengan mendengarkan hakekat dan petunjuknya.

Sarana – sarana Tazkiyah

Secara umum Tazkiyatun nufus tidak bisa terwujud kecuali dengan amaliah-amaliah yang sesuai dengan syariah. Dalam hal ini, adalah dengan mengikuti syariat Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam. Beliau seorang Uswah dian Qudwah yang utama, dan beliau adalah Thabîb Al-Qalb (dokter hati) yang telah mendapat lisensi dari Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ. Sehingga seorang yang melakukan terapi jiwa dengan otaknya sendiri diumpamakan oleh Ibnul Qoyyim bagaikan seorang yang mengobati penyakitnya sendiri dengan sia-sia, sementara ia meninggalkan dokter spesialis, maka keselamatan dan kesempurnaan dalam Tazkiyah tak akan diraih kecuali dengan mencontoh dan menjalani terapi Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam. (Lihat : Madârijus Sâlikin juz 2 hal 315)

Di bawah ini beberapa Amaliah atau sarana Tazkiyah yang mujarab dan efektif seperti yang diajarkan Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam.

1. Pembersihan Aqîdah dan penyempurnaan Tauhid

Aqîdah dan Tauhid adalah fondasi kehidupan seorang mu’min dan ia adalah penentu utama ketentraman dan kedamaian jiwa seseorang. Allôh berfirman :

بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Tidak demikian bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allôh, sedangkan ia berbuat kebajikan maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih “. (Al-Baqoroh 112).

Sementara kemusyrikan dan penyimpangan dari syariat Allôh akan menimbulkan kecelakaan dan ketidaktenraman. Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman :

وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآَخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ

“Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukann-Nya, yaitu orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya kehidupan akhirat”.(Al Fushshilât : 6-7).

Kata-kata “Az-Zakât” pada ayat tersebut menurut imâm Al-Qurthubî adalah Tauhîd Lâ Ilâha Illallôhu” (Tafsir Al-Qurthubî Juz 19 hal 199)

2. Ibadah yang sempurna kepada Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ

3. Shalat

Dari Abu Hurairah Radhiyallôhu ‘anhu. Beliau mendengar Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Bagaimana menurutmu kalau ada sebuah sungai di depan rumah salah seorang kamu dan ia mandi disungai tersebut lima kali setiap hari, apakah ia masih mempunyai kotoran?“ Sahabat berkata, “Tidak ada lagi kotoran sedikitpun”. Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ”Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu yang mana dengannya Allôh membersihkan kesalahan”.

Ibnul Arabiy rahimahullahu berkata : ”Adapun letak kemiripan dari tamsil Rasūlullâh diatas adalah; karena daki dan kotoran tidak akan ada kalau dibasuh dengan air dalam jumlah besar (sungai) apalagi jika dilakukan berulang kali, demikian juga dosa dan kesalahan pasti akan hilang kalau ia selalu dibersihkan dengan sholat.

Sholat yang khusyū’ bukan saja menyucikan jiwa, bahkan akan membahagiakannya dan mengantarkannya menuju keberhasilan. Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

“Sungguh beruntung orang-orang mu’min, orang –orang yang khusu’ dalam sholatnya”. (Al-Mu’minūn : 1-2).

4. Infâq, Shodaqoh atau Zakât

Memberikan sebagian harta yang dimiliki apalagi yang dicintai merupakan perbuatan yang berat kecuali bagi orang-orang yang telah ditazkiyah hatinya oleh Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ. Karena itulah diantara hikmah diperintahkannya zakat itu adalah untuk membersihkan jiwa dari kedengkian dan kekikiran. Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ berfirman :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, karena dengan zakat itu kamu membersihkannya (dari kekikiran) dan mensucikan mereka (dengan kebaikan) dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kami itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka, dan Allôh maha mendengar lagi maha mengetahui”. (At Taubah 103).

5. Doa dan Dzikir

Dzikrullâh merupakan terapi yang sangat efektif dalam mengobati dan menentramkan jiwa. Apalagi kalau itu dilakukan dengan penuh taqarrub dan khosiyah (tunduk dan takut/harap). Orang yang tidak mau berdzikir dan enggan berdoa menandakan pada jiwanya ada penyakit-penyakit kesombongan. Itu sebabnya Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam menganjurkan kita untuk berdoa dalam setiap waktu dan aktivitas. Allôh berfirman :

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

”Orang-orang beriman hatinya akan tenang dengan dzikrullah, dan ingatlah hanya dengan dzikrullahlah hatimu akan tenang”. (Ar Ra’du 28)

Dan dzikrullah yang paling utama adalah tilawah (membaca ayat-ayat Allôh) karena Allôh menurunkan Al-Qur`ân diantara fungsinya adalah sebagai As Syifa’ (penawar) dan rahmat bagi orang-orang mu’min (baca Al-Isrâ` : 82).

6. Meminimalisir dosa dan kemaksiatan

Dosa dan kemaksiatan diibaratkan oleh Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam laksana noda-noda hitam yang akan memudarkan qolbu seorang mu’min yang jernih. Kalau tidak segera ditazkiyah dengan taubat kepada Allôh ia akan memekatkan dan menutup mati mata hati itu sendiri sehingga ia akan keras bagaikan batu bahkan bisa lebih keras dari itu (Lihat Al-Baqoroh 74). Dan tidak tertutup kemungkinan kemuliaannya sebagai seorang muslim akan hilang dan jatuh sampai kepada peringkat binatang (baca Al-A’râf 179).

Dari kajian singkat diatas kita bisa menyimpulkan bahwa :

1. Tazkiyatun Nufūs merupakan kewajiban setiap mu’min untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan jiwanya.

2. Proses dalam Tazkiyah haruslah sesuai dengan syariah agar tidak seperti “Orang kehausan minum air laut “.

3. Keberhasilan dan kesuksesan hidup baik di dunia maupun di Akherat tidak akan bisa diwujudkan kecuali dengan jiwa-jiwa yang telah di Tazkiyah (baca Thoha 75-76)

Penutup dan Tausiyah

Terakhir kami berpesan pada pribadi kami juga kepada semua calon-calon mujahid Islâm :

1. Awali proses Tazkiyah dengan muhâsabah (introspeksi diri), kemudian murôqobah (merasa diawasi) yang ketat. Bila perlu lakukan mu’âqobah (memberi sanksi pada diri) kalau ternyata ada di dalam diri yang berusaha mengurangi apalagi menghapuskan semangat mujâhadah dalam bertazkiyah.

2. Awasi musuh-musuh eksternal (syaithân/thoghut) dan internal ( hawa nafsu)

3. Jauhi sifat membual, pesimis, apatis, malas, riya’, sombong dan rendah diri

Semoga bermanfaat tulisan yang ringkas ini. Kita tutup dengan doa kepada Allôh :

اللهم آت نفسي تقواها وزكها أنت خير من زكاها أنت وليها ومولاها (رواه مسلم)

“Ya Allôh anugerahkanlah ketakwaan pada jiwaku dan sucikanlah ia, karena Engkaulah sebaik-baik Dzat yang mensucikan dan Engkaulah pemiliknya dan penguasanya.”

Disalin dari abusalma.wordpress.com

kiriman dari aboezaid