Budaya Dan Malu

g1

Hari ini saya menghabiskan sore sambil menunggu waktu berbuka dengan menyusuri beberapa ruas jalan yang biasanya padat lalu lintas. Jalanan sepi, beberapa mungkin memilih untuk mudik sebab besok kami akan merayakan Idul Adha. Lengang dan teduh dengan suasana yang tepat hingga membuat saya sekali lagi membuka memori indah tentang kota ini, Makassar. Kota dimana saya menghabiskan kebersamaan bersama orang-orang terkasih dengan cinta, suka atau pun duka. Kota yang sedikit banyak membesarkan saya menjadi pribadi yang sedikit emosional dengan belenggu pintu cinta… Hallah!, itu serial tivi tahun berapa yah?! XD. Bukan-bukan, tapi kota yang membuat saya belajar banyak hal.

Juga kota yang membuat saya memahami bahwa, kami adalah rakyat yang senantiasa disuguhi baliho-baliho keren pemimpin idola masa kini. Hingga saya menjadi sedikit pusing ketika teringat, beberapa hari belakangan ini, media cukup sibuk memberitakan sebuah kejadian yang tidak pernah saya pahami, sehingga ia begitu senangnya berputar-putar di kepala saya yang sudah ditumbuhi selembar uban.

Ceritanya begini, sebelum dijemput tadi, saya sempat membuka hape dan membaca-baca beberapa situs yang memberitakan drama kejayaan sebuah – kelanjutan – kekuasaan -pemerintahan – yang – dipegang – oleh – satu – garis – keturunan: dinasti- yang amat menggelikan.

Saya pikir, cerita-cerita penghianatan penuh ambisi, konflik dan intrik atau semacamnya hanya ada pada dongeng sebelum tidur, fim-film princess, atau cerita-cerita fiksi zaman penunggang naga menjadi pembawa kejayaan. Ternyata tidak! Inilah dunia, tidak cukup melegakan dengan sebuah helaan nafas panjang. Fiiiuh… riweeh cyiin…

Namun ini cukup membuat saya bergidik ngeri membayangkannya. Betapa tidak, kejadian malu-malu-in ini sampai melibatkan oknum pemerintahan; seorang bupati yang ingin menjadi raja, pencurian pusaka, hingga bentroknya petugas dengan perangkat adat karenanya. Entah karena apa dan apa, kenapa dan mengapa.

Apa yang dipikirkan orang-orang ini yah? Mau apa mereka? Apa mereka lupa, ini cuman dunia, panggung sandiwara. Atau karena saking ingatnya mereka bahwa dunia ini panggung sandiwara, maka dengan mudahnya membolak balik skenario, berganti peran, menjadi media ekspresi, menjadi media hiburan, menjadi media pendidikan, dengan sutradara, pemain, penataan, properti, desainer, kru dan penonton yang semuanya akting.

Atau mungkin saya yang gagal paham menilai seseorang, bisa saja hal di atas dilakukan dari niat tulus, ikhlas serta mulia untuk melestarikan asset peninggalan sejarah dan budaya setempat, yang mana sebelumnya harus bergelar “sesuatu” dulu untuk bisa jadi pelindung. Oh dear… se-o-on apakah kita? bahkan untuk ibu rumah tangga macam saya ini hingga tidak bisa memikirkan kalau hal ini memalukan?. Dan berpikir langsung atau pun tidak kontroversi ini atau oknum di dalamnya telah melakukan pengrusakan moral dan etika?!. Plis, sejatinya manusia, sekalipun hanya mampu makan nasi dan garam, atau menyediakan tajin untuk bayinya, akan lebih mulia dengan ilmu yang membawanya pada kebenaran.

Dan rasanya  saya sungkan menulis hal-hal  seperti ini; yang behubungan dengan budaya, kebudayaan, lebih tepatnya mengambil sikap pro atau pun kontra tentang hal tersebut. Sebab sejauh yang saya pahami, terkadang ada hal didalamnya yang tidak sejalan dengan realitas prinsip hidup saya. Dan inginnya saya berlepas diri dengan kenyataan tersebut. Tapi, kamu harus tahu, darah itu merah jenrdal!.

sementara itu, langit kian memerah, senja telah menggantung, sore yang indah jadi sedikit berat untuk dilalui. Tapi, ah, sudahlah, setidaknya kamu punya satu cerita lagi untuk dongeng sebelum tidur, tentang seorang pemimpin dengan permaisuri cantik yang seharusnya tidak lupa diri. Mari pulang, di rumah telah menanti sebuah kehangatan.

Kau boleh pergi kemana pun kau mau, tapi kau tak boleh lupa, ada jejak yang kau tinggalkan dan bayangan yang selalu menghantuimu mengikutimu.

g2

2 thoughts on “Budaya Dan Malu”

  1. Saya masih ingat obrolan kita di mobil, sepulang workshop tempo hari…
    Unga bilang “banyak yang mau ada di garis keturunan ini …” nah! Bupati inilah salah satunya. Hahahaa 😄😄

  2. Saya masih ingat obrolan kita di mobil, sepulang workshop tempo hari…
    Unga bilang “banyak yang mau ada di garis keturunan ini …” nah! Bupati inilah salah satunya. Hahahaa 😄😄

Comments are closed.