Brak! Brak!
“Rahmat… Rahmaat! Raahmaaattt!”. Saya langsung bangun dari tidur mendengar mertua datang pagi-pagi buta dan mendapati beliau menggedor-gedor salah satu pintu kamar kami dengan frustasi; duduk di teras, masuk ke dalam rumah, menangis, mengelap air mata dengan jilbabnya lalu kembali menggedor-gedor pintu dan begitu hingga tiga sampai empat kali. Masalahnya, setelah berkali pintu digedor sedemikian hebohnya, Rahmat no respon! Semakin paniklah beliau. Kami yang melihatpun ikutan panik karena pintu yang terkunci dari dalam itu berusaha dibukanya dengan paksa.
Kerusuhan pagi itu bermula saat malam sebelumnya kak Rahmat terbatuk-batuk cukup keras, dia yang isolasi mandiri sepekan ini membuat kami serumah khawatir. Besoknya, kejadian di atas terjadi. Ternyata itu karena kekhawatiran ayah saya yang berlebih; Kenapa tidak ke dokter? Rumah sakit? Apa sudah dikasih obat apa belum? Harus bikin sarapan bubur biar makan, minumkan wedang kunyit, sediakan air panas buat hirup kayu putih dan kenapa kami tenang-tenang saja? Sementara kak Rahmat sudah jelas dinyatakan positif terpapar SarCov2, COVID-19. Makanya dia berinisiatif mengabari besannya dan ternyata jauh lebih besar kekhawatirannya.
Sementara itu, kak Rahmat hanya tertidur pulas karena pengaruh obat dengan bantal yang menutup kepalanya. Hedeuuhh… Continue reading “Berdamai Dengan Covid-19?!”