“Kenapa aku selalu melakukan ini? Sebenarnya ada apa?” Sebagian orang yang memiliki konflik batin seperti itu. Bahkan seringnya mereka melakukan hal yang bertolak belakang dengan pikiran mereka.
Sesuatu yang paling dibutuhkan seseorang ketika dia sangat putus asa dan tidak berdaya adalah penerimaan akan keberadaan dirinya, afirmasi bahwa ‘kau tidak salah’ dan ‘kau pasti punya alasan kuat untuk melakukannya’. Nasihat dan bantuan objektif apa pun yang mengabaikan keberadaan ‘kau tidak salah’ akan menjadi tak berarti dan tidak dibutuhkan, layaknya keinginan untuk memasakan orang yang bahkan tidak memiliki bahan baku.
Dulu saya bercita-cita menjadi sejarahwan, bagi saya mengetahui sisi kehidupan yang tidak sejaman dengan saya dan memahami cara kerja kehidupan mereka memjawab rasa ingin tahu saya yang berlebih. Pada akhirnya saya mengambil disiplin ilmu yang berbeda dari cita-cita saya. Sejak saat itu saya tidak lagi berani menggantung cita-cita dalam mimpi melainkan menetapkan konsep batasan bukanlah angan-angan tetapi seuatu yang praktis, nyata dan terperinci.
Hingga kekuatan yang saya bangun selama ini hancur di awal September 2021, ketika ayah saya berpulang menyisakan selembar akta notaris yang memberatkan pundak ini. Satu persatu kepercayaan diri saya runtuh, satu persatu keteguhan saya runtuh, satu persatu kebahagiaan yang saya miliki memudar. Saya merasa bersalah karena tidak dapat melakukan apapun untuk melanjutkan tanggung jawab dan amanah itu, namun apa yang dilakukan ayah saya adalah hal terbaik menutup hidupnya.
Di depan satu majelis saya menangis, menangis kecewa atas diri ini, menangis sendu karena kehilangan orang terkasih, menangis hingga tidak menyisakan apapun. Dari beberapa belas kali sesi konsul dengan psikolog pun tidak menyisakan apa-apa selain tempat untuk bercerita yang aman. Hati saya masih benar-benar hancur, kondisi menjadi memburuk ketika apapun yang berusaha saya makan dimuntahkan kembali, tidak dapat tidur berminggu-minggu hingga bawah mata semakin menggelap, kehilangan minat pada aktivitas bahkan ingin pergi dan hidup sendiri saja. Saya tahu, saya depresi berat!.
Kata Yang Saya Janjikan Pada Diriku Sendiri
Hingga satu nasihat dari guru saya, membuka ruang dalam jiwa dan hati, “Orang yang sudah meninggal tidak lagi memiliki urusan apapun di dunia, urusan dia sudah usai. Orang yang masih berada di dunia harus tetap melanjutkan hidup hingga waktu yang ditetapkan untuk mereka, apapun yang terjadi, pilhannya mau melanjutkan dengan kebaikan dalam kebenaran atau kesia-siaan?”
Dalam panjang kali lebar kekacauan tangisan saya malam itu, saya terdiam, saya tersadar, jika dapat menerima kepergian ayah saya, itu berarti saya juga harus menerima bahwa kehidupan ini akan terus berlanjut. Luka batin sedikit terobati, lalu untuk menyembuhkan luka batin, siapa yang dibutuhkan? Apakah orang yang lemah lembut untuk menemani? Atau orang yang analitis untuk menguraikan masalah? Saya kira bukan keduanya, tetapi ‘Pejuang yang Bersahabat’ orang yang berkarakter sepeti ini adalah orang paling tepat.
Ketika seseorang membutuhkan empati, dia harus menjadi simpatisan yang bersahabat yang memikul semua beban berat orang tersebut. Namun, ketika menghadapi seseorang atau situasi yang menganggu empati, dia harus bertarung, layaknya seorang pejuang. Dengan demikian rasa empati dapat dicapai, itulah simpatisan yang utuh dari semua sisi, support system.
Seseorang yang terluka ingin membicarakan lukanya lebih dari apapun, tetapi itu baru bisa terjadi jika dia sudah merasa aman. Ketika dia bertemu dengan seseorang yang nampaknya dapat mendengarkannya dengan baik, dia sering membicarakannya dengan cara tertentu, bahkan dalam situasi yang tidak menentu atau bahkan pada orang asing. Dia ingin dihibur…
Namun di atas semua itu saya menjanjikan diri saya sendiri, bahwa ALLAH tidak akan meninggalkan hambaNya, tidak mungkin Dia meninggalkan saya, tidak mungkin! Semoga saja ada tersisa kebaikan sebesar zarah sekalipun yang membuat iman menarik kita dengan kuat untuk tidak melupakan ALLAH sang pengenggam hidup.