Bagaimana-pun dua tahun ini rasanya sungguh berat, keterbatasan ada di mana-mana, warna kecemasan begitu kuat, pandemi membuat semuanya terhenti sejenak bahkan meninggalkan jejak-jejak duka yang tertancap begitu dalam.
Kami berangkat ketika matahari tidak lagi di atas kepala, walau sinarnya sedikit menyilaukan mata tapi tidak ada yang protes agar menaikan suhu pendingin udara dalam mobil. Ini perjalanan pertama saya setelah waktu menginginkan ayah saya untuk pergi selamanya meninggalkan kami semua. Enggan rasanya untuk meninggalkan Makassar, sekalipun berkunjung ke kampung suami di Belawa – Wajo, sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan – yang selalu saya nantikan sebelumnya, berharap dengan perjalanan ini akan ada ruang yang dapat kembali hangat dalam hati.
Melewati perbatasan Kabupaten Maros menuju Kabupaten Pangkep yang biasanya dengan kecapatan 40km/jam terasa membosankan kini tidak saya rasakan, suami juga terlihat tenang-tenang saja tidak berinisiatif mendahului mobil-mobil molen yang beriringan.
“There are so many big caaars, what cars is it momi?” Tanya adek. “TONASA!” jawab saya singkat membaca tulisan besar-besar pada mobil-mobil tersebut, “What did they bring?”, “Semen!” jawab saya lagi, “Why are they here?” Sambungnya lagi, “Nanti saya tanya sopirnya!, berhentimi dulu bertanya pusing kepalaku” sambung saya disusul ‘okay-an’ panjang oleh adek yang mulai menangkap warna badmood dari emaknya dan sekilas terlihat dari spion dia menghela nafas. Continue reading “Prestasi Dari Timur Indonesia”