Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu ketiga.
Sebenarnya aku ingin menempatkan ibu sebagai sosok perempuan yang menginspirasiku. Tapi ternyata tempat itu tidak cocok baginya. Ia ada di tempat teratas sebagai perempuan pujaanku.
Ia ada dalam tulisan yang aku puisikan, dan surat-suratku yang khusus aku tujukan untuk Tuhan semesta alam. Ketika aku menggunakan kata ganti pertama dalam sebuah tulisan; “aku” maka tulisan itu penuh berisi kedekatanku dengan apa yang aku tulis. ciyeee…
Dulu, sejak duduk di bangku smp, aku adalah orang yang tidak suka pelajaran matematika. Bukan karena sulit, tapi karena susah. Menghitung pohon faktor, menghitung garis tengah sebuah lingkaran, menghitung kecepatan yang berakhir pada fisika, itu hanya buang-buang waktu dan menyebalkan.
Menurut aku matematika itu adalah pelajaran tidak penting. Hingga akhirnya, pada kenaikan kelas aku bertemu dengan ibu Norma. Seorang wanita paruh baya yang anggun dan cantik. Kulit putih walaupun tak bisa dipungkuri ada garis-garis keras yang membentuk wajahnya, tetapi selalu berhiaskan senyum yang amat sangat menentramkan jiwa.
Safari guru dan jilbab yang beliau kenakan selalu bersih dan rapih. Awalnya aku tidak yakin beliau adalah guru matemaika. Biasanya model guru matematika itu sama menjengkelkan dan membosankan dengan sampul depan buku pelajarannya. Tapi tidak dengan ibu Norma. Sosoknya begitu dominan mengubah aura suram pelajaran matematika menjadi menyenangkan. Tapi bukan, bukan beliau yang menginspirasiku beberapa tahun terakhir.
Lalu aku beralih pada sosok yang satu ini. Aku kira, aku mengenalnya dengan dekat sehingga ia mampu menginspirasiku. Ternyata tidak. Alamat rumahnya saja aku tidak tahu apalagi nomor sepatunya. Bahkan ternyata kami tidak saling berteman dalam salah satu akun jejaring sosial =D.
Tapi aku merasa kami selalu dekat di hati, yaa paling tidak di hatiku. Seperti kebanyakan remaja lainnya, beliau tampak tidak terlalu menarik, selain sandal jepitnya yang berwarna orange. Ah jangan, jangan sebut remaja, terlalu manis, sepertinya tidak sesuai dan terlalu mengada-ada.
Sejak kali pertama bertemu, kesan pertama yang aku dapatkan adalah jutek. Itu yang bisa aku nilai dari pertemuan perdana kami, halah.. =D. Siapa elooh !? pikirku saat itu, maka aku meletakkan dia jauh di luar zona pertemanan.
Ternyata penilaianku salah. Aku begitu takjub dengan semangat berbaginya. Maka aku membuat satu lingkaran baru di zona terluar untuk orang-orang yang mungkin saja aku perhitungkan kapan-kapan.
Ternyata aku tidak salah menciptakan zona baru untuknya. Perempuan ini mampu membuat hari-harinya bahagia dengan sekelompok anak jalanan. Anak yang mungkin saja luput dari pandangan kita (kita ?!, elo ajah kali, bukan gue). Sekumpulan anak bau matahari dengan kehidupan mereka yang kompleks. Perilaku kasar, kumal, dekil, tidak tahu etiket, dan segala penilaian negative lainnya yang datang dari mata kasarku untuk gerombolan kecil yang hobi nongkrong di lampu merah siang malam, anak jalanan.
dia seperti Kartini?!
Sayangnya aku tidak ingin membanding-bandingkan dia dengan Kartini yang amat sangat dibanggakan bangsa ini, aku tidak terlalu kenal dengan Kartini, memikirkannya saja aku pusing. Cita-citanya lebih besar dari Kartini. Niat dan semangatnya terlihat jelas kalau dia ingin mendobrak system suram yang berlaku pada anak jalanan yang ada di sudut kota ini. Dia berusaha membelajarkan sekelompok anak bau prengus, memberikan mereka kebahagian, memberikan mereka mimpi, menciptakan semangat baru untuk mereka, bermain bersama mereka, bernyanyi ataupun cuman saling bertatap-tatapan (-melotot, memasang tampang datar, membuat kedua ujung bibir sama rata ; marah =D. Bayangkan, maka anda akan tau seberapa juteknya beliau =)) ).
Dia berusaha membentuk pola pikir yang positif pada mereka walaupun besar kemungkinan anak-anak itu tidak mau keluar dari zona nyaman mereka dengan berhamburan di jalan-jalan, menggendong adik bayi mereka, atau bayi berani nyewa untuk perlengkapan pendukung. Ya mungkin saja karena mereka tidak seberuntung aku atau kalian. Ya mungkin saja karena mereka tidak punya banyak pilihan. yang jelas banyak kata “meraka” di sini dan meraka itu banyak.
Tapi dia, berusaha untuk memberikan warna tersendiri bagi yang terlupakan dari setiap sudut lampu merah. Semangat berbagimu sungguh besar, juga jiwa dan hatimu. Semoga ALLAH senantiasa menyertaimu.
Terima kasih Rezkiani Mangatta, aku yakin namamu lebih harum dari Kartini.
wuih…….ternyata
wuih…….ternyata