Sementara Riri masih menganggap dirinya adalah detektif hebat karena berhasil memecahkan beberapa kasus berat dalam salah satu permainan di telepon selularnya, saya masih hidup bersama bayang-bayang kenangannya setelah membaca chat darinya di ujung malam ini.
Kami berteman cukup lama –saya dan Riri-, hampir di setiap tahun berganti di sepanjang umur saya, Riri hadir. Riri adalah gadis yang cantik dan ceria, Ia memiliki rambut panjang nan indah yang selalu diurai. Saya merasa rambut Riri-lah yang paling indah diantara geng kami. Ia pun termasuk anak yang pintar, selalunya Ia mendapatkan peringkat di kelas walau tidak pernah melampaui peringkatku… Namun menurut saya, jujur saja, sepertinya, iya sepertinya Riri-lah yang paling tepat menempati peringkat pertama di kelas di setiap pembagian rapot karena ia lebih rajin mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru ketimbang saya, yang hampir selalu saya contek.
Saya senang bersama Riri di sepanjang kehidupan itu dan kehidupan ini, di tahun-tahun kami menghabiskan waktu bersama dalam seragam putih-merah dengan bau matahari yang menyengat, bulu-bulu ayam warna-warni yang kami pelihara dalam lipatan buku, pohon cermai yang selalu kami panjat, serta telur-telur kutu yang bertebaran memenuhi kepala kami.
Waktu itu, pagi-pagi benar Riri akan berteriak keras-keras meneriakan nama saya, memanggil-manggil, sementara saya masih sibuk memakai seragam. Ia terlihat begitu bahagia ketika mendapati wajah saya belepotan bedak bayi karena terburu-buru menyelesaikan ritual pagi sebelum akhirnya kami berangkat ke sekolah bersama-sama. Ya, dia menjemput saya, walau tak jarang di sekolah nanti dia akan sedikit memusuhi saya karena terlalu lama mengerjakan tugas yang diberikan guru, atau terlalu lama menyelesaikan soal ujian kala musim ujian tiba.
Jika jam sekolah usai dan anak-anak lain mulai berhamburan keluar kelas berlomba-lomba untuk pulang, kami biasanya sepakat untuk mampir ke penjual es rasa buah-buahan dengan warna es yang sangat mencolok seperti warna penanda dalam bacaan. Kami benar-benar menikmati es berwarna terang tersebut di hari-hari yang panas dengan jalanan yang kering penuh debu sambil berjalan pulang ke rumah. Atau kami akan membeli manisan mangga dan kedondong dengan sambal garam yang lezat saat hari hujan hingga perut kami mulas dibuatnya.
Saya senang sekali dapat berteman dengan Riri, Ia sering mengundang saya main ke rumahnya untuk bermain air saat hujan turun, yang membuat genangan cukup lebar di balkon rumahnya di lantai-2. Biasanya kami cukup serius menghadapi genangan itu hanya dengan mengenakan pakaian dalam dan singlet. Genagan itu membuat kami bahagia dengan suara-suara riuh yang selalu kami keluarkan hingga nenek Riri berkali-kali harus mengingatkan kami agar hati-hati dan tidak terlalu berisik, lalu menyuguhi pisang goreng panas yang nikmat dengan cocolan mentega dan gula pasir.
Lalu ketika hujan sudah reda, kami akan berpetualang ke sebuah kawasan pembangunan, sebuah bangunan besar setengah jadi yang tak jauh dari rumah kami dan entah akan dijadikan apa nantinya. Di sanalah kami akan kembali bermain dalam kubangan air dan menangkap ikan kodok –kata Riri- yang belakangan baru saya ketahui kalau mereka, ikan kodok yang Riri bilang itu adalah sekumpulan kecebong!. Jika membayangkannya sekarang, ingin rasanya saya mencakar-cakar Riri… Dia telah membuat kebohongan terbesar dalam kehidupan masa kecilnya yang mungkin tidak akan pernah saya maafkan.
Namun, setelah itu saya kehilangan kabar tentangnya, bukan dia yang menghilang, tapi sayalah yang menghilang, saya meninggalkannya di kota ini. Saya menyimpan nama Riri dalam sebuah buku diary lucu, yang kerap saya edarkan saat akan lulusan sekolah. Saya menyimpan Riri bersama nama-nama lain teman-teman masa kecil yang mengisi kehidupan saya di saat seragam putih-merah itu masih berkibar-kibar dengan bahagianya.
Riri mungkin saja dapat menceritakan lebih banyak hal tentang dirinya, tapi saya hanya mampu menceritakan betapa kenangan bersamanya adalah satu dari hal-hal terbaik yang pernah saya lalui dalam hidup saya. Satu hari saya ingin sekali memeluk Riri saat kesempatan mempertemukan kami di sore itu, saat hari mendung walau hujan sudah berlalu.
Untuk sebuah pertemuan dengannya kembali, ketika saya sudah mengenal banyak hal dan melewati 3 tahun kehidupan di Sekolah Menengah Pertama dan 3 tahun kehidupan di Sekolah Menengah Atas menuju bangku kuliah. Di sana saya menemukan Riri sebagai sosok yang tegar, dia begitu kuat menghadapi cerita kehidupannya yang sempat saya tangkap dari linangan air mata yang buru-buru dihapusnya setelah menceritakan beberapa kisah yang tidak ingin diteruskannya, dan tidak ingin saya tanyakan lebih jauh dengan ke-pura-pura-an saya untuk mengerti arti lelehan air mata itu, bahwa dia baik-baik saja dan tidak terjadi apapun yang menyakitinya. Padahal, tentu saja saya ingin memeluknya erat dan mendesaknya untuk berkata jujur, tapi sekali lagi saya berusaha mengerti kenapa Riri harus menangis dan saya hanya mampu mematung menunggu tangisannya benar-benar habis dan mendung benar-benar hilang.
Sore itu kami duduk bersama di jendela balkon kamarnya menghadap sebuah bangunan megah yang dulunya tempat kami sering menangkap ikan kodok. Dari atas sana, dari jendela balkon kamar Riri batas pandangan kami dapat menangkap lebih banyak gambar dan peristiwa, menikmati sore dengan wangi tanah basah dan melihat anak-anak yang sedang bermain bola dengan serunya. Sesekali saya melirik Riri diam-diam, memastikan kalau dia baik-baik saja.
Ternyata, meninggalkan Riri saat itu membuat saya belajar, bahwa masing-masing dari kita sudah pasti memiliki cerita hidup yang berbeda-beda, dan beruntunglah kita jika mengerti bahwa benar, selepas hujan pasti akan ada pelangi walau mendung tak benar-benar pergi. Riri, saya berharap kehidupanmu kini selalu bahagia, dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaimu dan tetaplah ceria.
Satu pesan masuk dalam ponsel saya, saya membuka cepat dan menemukan gambar ting-ting kacang. Ya, ting-ting kacang itu kiriman dari Riri… Saya rasa, Riri berhak bahagia sekarang! Dan dia harus bahagia! Dan dia telah bahagia!. Lalu saya membalas ting-ting kacang itu dengan emoticon menangis. Mudah-mudahan dia membaca dan mengartikan tangisan itu tentang inginnya saya akan ting-ting kacang, dan bukan tentang yang lainnya.