2011 lalu saya termasuk yang paling semangat menyisipkan tagar “Save Somba Opu” pada kicauan di twitter sebagai wujud protes kepada pemerintah provinsi karena dikeluarkannya ijin membangun pusat rekreasi di kawasan Benteng Somba Opu hingga nyaris menyenggol dinding Benteng Somba Opu. What a beautiful life! Se-receh-recehnya saya, se-jelata-jelatanya saya, saya masih punya cinta yang begitu besar, harga diri untuk menghargai situs-situs sejarah dibanding mereka yang memiliki amanah lebih besar untuk hal-hal demikian. Sama ketika santer kabar bahwa disinyalir pemerintah kabupaten Gowa berusaha mengobrak-abrik harta karun milik kerajaan Gowa, membobol brangkas penyimpanan benda pusakanya untuk meluluskan pelantikan bupatinya yang ingin jadi raja. Lucu? Gak lucu! Gak mungkin coppeng bisa berubah jadi anggur walau diletakkan pada piring emas sekali-pun. Percayalah harga tidak akan pernah mengkhinati kualitas dan kualitas tidak akan membohongi rasa. *hallah! –kecuali kamu ditipu-.
***
Wangi kental hio –dupa khas Cina- tercium begitu saya membuka jendela mobil, pekat hingga membuat keryitan pada alis. Dua hari ini, 13 hingga 14 April 2018 saya memang menghabiskan waktu begitu banyak di sebuah hotel yang terletak di jalan Sumba, jalan yang sebelahan dengan jalan Irian, sebuah jalan yang menjadi batas kota Makassar pada akhir abad ke-18, tepatnya Makassar bagian barat saat ini, Hotel Dynasti Makassar.
Ada sebuah forum yang diadakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan menggandeng Lembaga Lingkar –sebuah komunitas yang bergerak dalam menyelenggarakan berbagai acara yang bertema kebudayaan, sejarah dan sastra- yang mengangkat Pelestarian Cagar Budaya sebagai bentuk sengketa sangat menarik untuk dibahas dalam seminar dan diskusinya, terlebih bagi saya, “Pentingnya Memelihara, Merawat dan Mempertahankan Situs Sejarah dan Kebudayaan Kota Makassar di Era Milenial” adalah kesempatan berharga yang sayang untuk dilewatkan.
Catatan Penting Tentang Sejarah
Dalam forum selama 2 hari ini terdapat 3 sesi; sesi pertama adalah seminar dan diskusi tentang cagar budaya, sesi kedua seminar dan diskusi mengangkat tema sejarah kota Makassar dan kawasaan Pecinaan, kemudian sesi ketiga city tour ke kota tua, kawasan Pecinaan yang ada di Makassar.
Sesi pertama menghadirkan Bapak Drs. Laode Muhammad Aksa M,Hum selaku BPCB Sulawesi Selatan dan Bapak Asep Kambali, seorang sejarahwan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia sedang pada sesi ke-2 menghadirkan Bapak Dias Pradadimara selaku dosen Universitas Hasanuddin Makassar serta Bapak Yeri Wirawan selaku Dosen Universitas Sanata Darma.
Diskusi sangat menarik, antusias peserta begitu tinggi terlihat dari banyaknya pertanyaan dan pernyataan kritis yang dilontarkan selama seminar dan diskusi ini berlangsung. Terlihat jelas bahwa mereka, peserta diskusi membawa peran untuk sebuah aksi bukan hanya wacana seperti kerupuk dalam kaleng berlubang, cantik tapi melempem. Pentingnya mengingat dan menggandeng budayawan, pelaku serta tokoh masyarakat setempat yang ideal adalah hal yang lagi-lagi perlu menjadi bahan evaluasi pemerintah agar mengenal sejarah bukan semata-mata menjadi hapalan dalam mata pelajaran di sekolah.
“Sejarah adalah memori kolektif yang harus dirawat, memori kolektif yang mengandung informasi tentang siapa kita, asal usul kita dan dalam konteks besarnya menerangkan tentang asal usul negara” begitu kata bapak Asep Kambali yang akrab disapa kang Asep dan saya setuju. Sepetinya slogan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya perlu ditambah dengan menghargai sejarahnya.
Sejarah Kota Makassar dan Pecinaan; Awal Mula Kehadiran Orang Tionghoa di Makassar
Makassar sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang, sebuah peradaban yang berada di Indonesia Timur sebagai gerbang masuknya multi budaya yang ada, tempat berkembangnya pemerintahan sejak penjajahan Belanda, Jepang hingga menjadi jalur perdagangan; pedagang-pedagang Tiongkok yang akhirnya menetap, membentuk suatu pemukiman hingga membaur serta menambah kaya sejarah Makassar, budaya yang ada di Makassar serta memberi pengaruh yang tidak sedikit dalam sumbangan bagi moderenitas.
Kehadiran orang Tionghoa di Makassar lebih dulu hadir sebelum kedatangan orang Eropa pada abad ke -17, yang mana Makassar merupakan kota kosmopolitan; adanya pedagang Inggris tahun 1613; pedagang Spanyol tahun 1615; pedagang Denmark tahun 1618; pedagang Perancis tahun 1622; serta pedagang Portugis yang telah ramai sejak tahun 1641. Hal ini diperkuat dengan hadirnya klenteng dengan patung-patung yang didatangkan langsung dari negeri Cina pada akhir abad ke-17
Mereka memiliki alur perdangan yang kuat dan telah membangun sebuah perkampungan khusus untuk masyarakat Tionghoa, telah memiliki, juga menerapkan sistem perijinan untuk berpergian dan ditetapkannya pajak. Hal ini pula yang akhirnya membuat pemerintah kolonial Belanda melakukan peraturan-peraturan guna membatasi perdagangan serta pedagang-pedagang dari negeri Tiongkok, mereka hanya mengijinkan 1 junk barang dagang yang masuk dan selebihnya harus melalui Batavia. Bahkan tak jarang kapal-kapal besar berisi barang dagangan mereka ditenggelamkan.
Sedang pada abad ke-18 menuju abad ke-19 perkembangan kebudayaan etnis Tionghoa semakin besar, sebagian besar arsitektur bangunan terpengaruh oleh budaya etnis ini, kota Makassar di laporkan sebagai kota yang terawat meskipun tidak ada hotel Eropa (Wallace 1856). Hal ini juga ditegaskan dengan muncul banyaknya klenteng baru; Klenteng Shengmu Xianma, inskripsi 1868; Klenteng Bao’an gong, diperkirakan berdiri tahun 1889; serta Klenteng Guanyu, 1889 oleh orang-orang suku Kanton. Kemudian bangunan-bangunan berupa hotel, bioskop, pabrik es, toko roti dan kue berdiri sekitar abad ke-19, abad ke-20.
Saya-pun tumbuh dalam budaya dan lingkungan yang masih cukup kental dengan warga keturunan Tiongkok. Kebanyakan tetangga saya merupakan keluarga etnis Cina, bahkan ada dari mereka yang neneknya masih melakukan budaya pengikatan kaki.
Di rumah petak sewaan nenek saya juga banyak yang diisi dengan warga keturunan Cina, tak jarang saya bermain bersama anak-anak mereka dan ikut membakar hiyo juga mengantongi jeruk sajian altar abu keluarga mereka.
Gak hanya itu, saya sering ikut membantu Meyling mencuci baju papa’ dan mama’nya alias main air di sumur yang masih dalam kawasan rumah petak itu atau ikut di boncengan sepeda Meyling saat ia disuruh membeli ballo –minuman keras hasil fermentasi nirah- oleh bapaknya dan berakhir dengan paha yang merah karena dicubit ibu. Tapi itu semua terbayarkan karena Meyling sering mengajak saya menghabiskan sore sebelum kami mengantar ballo pesanan bapaknya atau mampir main bingo di lorong-lorong rumah petak. Saya harus mendongakkan kepala ketika melihat Meyling tertawa puas dan mengantongi uang hasil main bingo lalu kami pulang dengan menyedot es mambo rasa nanas yang di beli dari uang itu. Belakangan saya baru tahu kalo Meyling suka jajanin saya dari duit hasil judi, ahahah…
Demikianlah Makassar, sebuah kota tua kosmopolitan yang memiliki sejarah penting dan panjang, begitupun masyarakat Tionghoa telah mengambil bagian penting di dalamnya sejak abad ke-17 juga memberi sumbangan identitas keragaman dan persahabatan yang sejuk juga es nanas yang nikmat.
Bagus banget penuturannya.
Gak hanya tentang acara yang sudah kita hadiri bersama, tapi ada juga cerita kenangan pribadi dari masa lalu.
Ternyata masa kecilnya Unga sudah diisi dengan bersosialiasi dengan warga etnis Tionghoa.
Bagus banget penuturannya.
Gak hanya tentang acara yang sudah kita hadiri bersama, tapi ada juga cerita kenangan pribadi dari masa lalu.
Ternyata masa kecilnya Unga sudah diisi dengan bersosialiasi dengan warga etnis Tionghoa.
aaaaaah jadi rindu masa kecil baca ini. Meskipun belum terlalu lama tinggal di Makassar tapi saya selalu kangen dan merasa tidak bisa pergi lama dari kota Makassar
aaaaaah jadi rindu masa kecil baca ini. Meskipun belum terlalu lama tinggal di Makassar tapi saya selalu kangen dan merasa tidak bisa pergi lama dari kota Makassar
Ulasan yang runut dan menarik kak. Kilas baliknya jenaka tapi sarat makna. Pantas Kak unga agak sipit-sipit, masa kecilnya bergaul dengan keturunan Tiongkoa rupanya hihihihi…
Ulasan yang runut dan menarik kak. Kilas baliknya jenaka tapi sarat makna. Pantas Kak unga agak sipit-sipit, masa kecilnya bergaul dengan keturunan Tiongkoa rupanya hihihihi…
ini yang aneh, orang Tionghoa di (kota) Makassar itu justru lebih dulu ada dibanding orang Arab, atau bahkan orang Bugis. Orang Bugis baru masuk secara besar-besaran setelah Gowa jatuh ke tangan Belanda. Banyak sekali kebudayaan kita yang diadaptasi dari kebudayaan orang Tionghoa. Bahkan, makanan favorit dan khas kota Makassar sebagian besar adalah pengaruh dari budaya Tionghoa.
Sayangnya, keberadaan orang Tionghoa masih sering dipinggirkan bahkan dimusuhi. Berbeda dengan orang Arab misalnya yang datang belakangan tapi justru tidak dianggap sebagai ancaman.
Memang ndak bisa dipungkiri daeng banyak etnis ini yang membangun jarak dengan penduduk lokal, entah apa sebabnya bahkan mereka ndak jarang sebut orang lokal dengan sebutan pribumi dengan istilah yang agak melecehkan (kasar); fanna, (🤣🤣) untuk pribumi, dialek fucien kalo ndak salah…
Kalo Arab lebih mudah diterima mungkin karena dia lebih memasyarakat, mungkin…
Tapi sepupuku papanya Arab dan dia sombong sekali… #eh
Begitu mi mungkin daeng pribadi masing-masing orang beda, terlepas dia asal mana.
ini yang aneh, orang Tionghoa di (kota) Makassar itu justru lebih dulu ada dibanding orang Arab, atau bahkan orang Bugis. Orang Bugis baru masuk secara besar-besaran setelah Gowa jatuh ke tangan Belanda. Banyak sekali kebudayaan kita yang diadaptasi dari kebudayaan orang Tionghoa. Bahkan, makanan favorit dan khas kota Makassar sebagian besar adalah pengaruh dari budaya Tionghoa.
Sayangnya, keberadaan orang Tionghoa masih sering dipinggirkan bahkan dimusuhi. Berbeda dengan orang Arab misalnya yang datang belakangan tapi justru tidak dianggap sebagai ancaman.
Memang ndak bisa dipungkiri daeng banyak etnis ini yang membangun jarak dengan penduduk lokal, entah apa sebabnya bahkan mereka ndak jarang sebut orang lokal dengan sebutan pribumi dengan istilah yang agak melecehkan (kasar); fanna, (🤣🤣) untuk pribumi, dialek fucien kalo ndak salah…
Kalo Arab lebih mudah diterima mungkin karena dia lebih memasyarakat, mungkin…
Tapi sepupuku papanya Arab dan dia sombong sekali… #eh
Begitu mi mungkin daeng pribadi masing-masing orang beda, terlepas dia asal mana.
Reportase event yang menarik dengan kilas balik masa kecil yang bikin senyum senyum sendiri 😀
Saya menunggu tulisan tentang city tour Pecinannya, akan adakah? Tertarik dengan sudut pandang tulisannya Unga tentang kunjungan ke Pasar Bacan 😀
Reportase event yang menarik dengan kilas balik masa kecil yang bikin senyum senyum sendiri 😀
Saya menunggu tulisan tentang city tour Pecinannya, akan adakah? Tertarik dengan sudut pandang tulisannya Unga tentang kunjungan ke Pasar Bacan 😀
Saya jadi teringat sama acara undangan Millenial Ramadhan Fest kemarin yang ngundang Blogger Makassar kak untuk jadi narsum. Jadi di sesi waktu saya dan Fira jadi perwakilan AM disana, sempat ada yang nanya gimana caranya dan seperti apa kita ini blogger bisa mengabadikan hal-hal yang berbau sejarah khususnya di Makassar. Karena sebenarnya menurut si penanya, susah bangetmi untuk menemukan penulis khususnya Bloger yang mau membahas banyak soal sejarah. Makin kesini sejarah makin dilupakan.
Beruntung sekali bisaka baca tulisanta ini Kak Unga, ternyata kita itu aware banget di sama sejarah? Saya selama jadi Blogger ngga pernah sampe sebegininya ngeluarin tulisan bahkan opini untuk hal-hal sejarah. Bangga bangetka sama Kak Unga 🙂
Saya jadi teringat sama acara undangan Millenial Ramadhan Fest kemarin yang ngundang Blogger Makassar kak untuk jadi narsum. Jadi di sesi waktu saya dan Fira jadi perwakilan AM disana, sempat ada yang nanya gimana caranya dan seperti apa kita ini blogger bisa mengabadikan hal-hal yang berbau sejarah khususnya di Makassar. Karena sebenarnya menurut si penanya, susah bangetmi untuk menemukan penulis khususnya Bloger yang mau membahas banyak soal sejarah. Makin kesini sejarah makin dilupakan.
Beruntung sekali bisaka baca tulisanta ini Kak Unga, ternyata kita itu aware banget di sama sejarah? Saya selama jadi Blogger ngga pernah sampe sebegininya ngeluarin tulisan bahkan opini untuk hal-hal sejarah. Bangga bangetka sama Kak Unga 🙂
Makassar kaya dengan keanekaragaman ya. Sayangnya di antara kita masih banyak yang mudah terptovokasi oleh isu yg memecah belah. Tapi semoga ada perbaikan krn selalu ada usaha positif memperbaikinya dari mereka yg penulis
Makassar kaya dengan keanekaragaman ya. Sayangnya di antara kita masih banyak yang mudah terptovokasi oleh isu yg memecah belah. Tapi semoga ada perbaikan krn selalu ada usaha positif memperbaikinya dari mereka yg penulis
Kegiatan yang keren banget nih kak. Jadi lebih mengenal sejarah Kota Makassar terutama terkait sejarah kedatangan orang Tionghoa ke Makassar dan ternyata memang etnis mereka sudah lama menetap di sini ya.
Btw masa kecilnya kak Unga bermain dengan anak-anak keturunan cina lucu juga ya. Jadi ingat teman masa kecil saya dulu juga ada keturunan cina, tapi nggak sampai ikut beli ballo dan ditraktik pake uang hasil main bingo, hehe
Kegiatan yang keren banget nih kak. Jadi lebih mengenal sejarah Kota Makassar terutama terkait sejarah kedatangan orang Tionghoa ke Makassar dan ternyata memang etnis mereka sudah lama menetap di sini ya.
Btw masa kecilnya kak Unga bermain dengan anak-anak keturunan cina lucu juga ya. Jadi ingat teman masa kecil saya dulu juga ada keturunan cina, tapi nggak sampai ikut beli ballo dan ditraktik pake uang hasil main bingo, hehe
Paceku saya di Parepare punya kerabat dekat dengan orang cina, dan saya juga sewaktu kecil banyak teman dekat orang cina, dan sekarang kuliah juga ada teman orang cina. Dan itu bukan masalah sebenarnya, cuma barusannya ji sekarang banyak spekulasi muncul.
Paceku saya di Parepare punya kerabat dekat dengan orang cina, dan saya juga sewaktu kecil banyak teman dekat orang cina, dan sekarang kuliah juga ada teman orang cina. Dan itu bukan masalah sebenarnya, cuma barusannya ji sekarang banyak spekulasi muncul.
Kegiatan yg sgt positif, jas merah skali kali jgn melupakam sejarah. Kreen klo bnyk blogger makassar yg mengulas sejarah makassar biar sejarahnya ttap abadi dalam tulisan di dunia maya
Kegiatan yg sgt positif, jas merah skali kali jgn melupakam sejarah. Kreen klo bnyk blogger makassar yg mengulas sejarah makassar biar sejarahnya ttap abadi dalam tulisan di dunia maya