Please di Rumah Ajah!

Sejak seminggu terakhir ini saya berniat kembali mengisi blog, rencananya untuk menghabiskan luang yang tersia-siakan karena leyeh-leyehnya kebablasan. Akibat aktivitas yang padat dalam mengintip grup whatsapp, tiba-tiba niat untuk memposting tulisan semakin kuat setelah melihat kak Rara menambahkan tautan tulisan terbarunya dalam group tersebut.

Baiklah, cerita ini saya mulai dengan rasa syukur serta bahagia yang teramat, walau sudah tidak pernah lagi ngemol atau mengisi pelatihan atau mengisi kajian secara offline; bertatap muka saling melempar senyum dengan mbak-mbak penjual roti gandum atau sekedar menghirup ac mol yang segarnya itu, hanya mamak-mamak doyan diskonan yang tahu. XD

Sebulan yang lalu, eh salah dua bulananlah, awal Maret tanggal 4 hingga 7 Maret adalah waktu di mana saya melakukan perjalan ke luar kota terakhir di tengah merebaknya wabah Corona. Corona adalah nama keluarga besar virus, ibarat fam begitue, dia dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Pada manusia diketahui dapat menyebabkan infeksi pernafasan mulai dari flu biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan virus Corona kekinian pendatang baru yang ditemukan di Wuhan China tahun 2019 lalu dikenal dengan COVID 19.

Gejala yang paling umum dari COVID 19 adalah demam, kelelahan, batuk kering dan sesak nafas. Beberapa pasien biasanya mengalami gejala ringan seperti mengalami sakit dan nyeri, hidung tersumbat, pilek, sakit tenggorokan atau diare. Namun, beberapa orang lainnya yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan merasa baik-baik saja, 80% pulih tanpa perlu perawatan khusus. Sekitar 1 dari 6 orang yang mendapatkan COVID 19 sakit parah dan kesulitan bernafas. COVID 19 menyebar dari orang ke orang melalui tetesan kecil dari hidung atau mulut yang menyebar ketika seseorang batuk atau menghembuskan nafas.

Sementara di Indonesia dari kabar yang rilis, pasien positif COVID 19 baru terdeteksi pada bulan Februari, lalu pada awal Maret diumumkanlah beberapa tempat yang masuk dalam zona darurat COVID 19, salah satunya adalah tempat yang akan saya tuju untuk menghadiri sebuah pelatihan.

4 hari dengan rutinitas dan materi yang cukup padat hingga setiap sesinya berakhir pada pukul 12 malam, membuat saya sedikit lelah dalam pelatihan tersebut, apalagi kondisi saya memang tidak cukup fit setelah hari-hari lepas lahiran juga menyusui yang dilewati dengan begadang. Rasanya tak sanggup memalingkan pandangan sedikitpun, memandangi seorang bayi mungil yang berjarak 8 tahun dari anak terakhir saya hingga saya sulit pulas dalam tidur.

Sejak kembali dari pelatihan itu saya mengeluhkan luka kecil di kepala yang mulanya terasa seperti digigit serangga; terasa gatal dan karena digaruk-garuk, nampaknya luka itu meradang, lama-kelamaan semakin membuat tidak nyaman; sakit di kepala, leher kaku hingga tidak dapat menoleh, nyeri punggung dan demam. Akhirnya saya menyerah dan meminta suami untuk mengantar ke dokter, sayangnya saya masih harus menunggu lagi 2 hari saat dia selesai pelatihan pula dari kantornya. Karena sudah tidak tahan dengan nyeri dan demam juga rasa seperti ingin pingsan, saya memaksa untuk segera dibawa ke rumah sakit saja walau hari libur. Hemat saya kalau poli tutup bisa langsung ke IGD ajah…

Lobi rumah sakit lengang, hanya satu dua orang yang duduk berjauh-jauhan dan beberapa lainnya berbaris rapih mengambil nomor antrian pada mesin nomor antrian otomatis. Sementara koridor menuju IGD dipenuhi orang-orang yang pada ngemper, mereka duduk di lantai rumah sakit lalu sesekali menyenderkan punggung yang mungkin saja pegal karena sudah terlalu lama di sana. My God! Apa yang terjadi yah? Gak mungkin rumah sakit sekelas ini ngebolehin orang-orang pada ngedeprok gitu di lantai kalau gak darurat. Perasaan saya semakin gak enak dengan situasi ini, apalagi dalam sesi tanya-jawab yang menguras emosi di pintu masuk RS karena kondisi saya yang lemah, demam –berkali-kali diukur suhu, juga karena abis keluar kota dalam 2 minggu terakhir hingga membuat semua orang yang mendengar percakapan kami memandang ngeri dan curiga.

Akhirnya karena mulai khawatir melihat kondisi saya yang makin lemah sementara mau masuk IGD full banget hingga lorong-lorongnya pun dipenuhi tempat tidur, suami menyarankan agar kami ke klinik pelayanan dari fasilitas kantornya. Malas berdebat akhirnya saya iya-in ajah! Eh ternyata tutup juga dooong di sana! Entah karena stress nahan sakit dan harus menerima kenyataan mengerikannya protap rumah sakit jika dikunjungi sekarang-sekarang ini, saya sempat sesak dan berakhir dengan oksigen yang saya hirup dalam-dalam hasil beli dari apotik yang kami lewati.

Saat kamu gak punya pilihan, kamu akan merasa bahwa bantuan orang lain itu sungguh berarti dan tentu saja, sabar adalah jalan keluar yang paling sederhana, berharga, juga berdampak besar. Akhirnya saya sampai di rumah sakit berikutnya dan langsung menuju IGD tanpa melewati lobi. Penuh? Sesak? Absollutly yess! Bahkan lobi IGD dipadati pasien yang ditangani sambil duduk di kursi-kursi roda, ini adalah rumah sakit pilihan saya kedua untuk dirawat. Tapi melihat keadaannya begitu, saya masih usaha untuk mencari rumah sakit lainnya walaupun tipe C yang penting dapat dilayani ala-ala princess?! Sombong banget dah… Astaghfirullah!.

Maksudnya yang bisa langsung istirahat gitu tanpa antri lama, maka saya berusaha menghubungi adik saya yang kerja di RS tipe C dengan harapan akan mendapat kemudahan karena dia seorang dokter di sana dan ada ruangan kosong untuk rawat inap. Ternyata benar! Janganlah kamu berharap pada manusia, teleponnya kagak diangkat gais… wkwkwkwk (ketawa lo sekarang, kemaren, senyum ajah lo gak bakalan sanggup!) Sampai di sini, pliss tetap di rumah! Karena gak ada jaminan walau kamu punya duit banyak atau punya fasilitas asuransi yang terbaik sekalipun akan berguna jika taqdirmu tidak demikian.

Sementara sesak semakin menjadi, akhirnya mau tidak mau, penuh pasien apa enggak, dirawat di kursi roda atau tempat tidur, pilihan terbaik adalah masuk di IGD rumah sakit kedua ini. Hal pertama yang saya keluhkan abses di kepala bagian kiri dekat kuping karena nyeri hingga pundak dan atas pinggang, setelah diberi obat suntik, hari itu saya memutuskan pulang saja karena merasa baikan dan perlu pulang karena ada bayi yang menanti di rumah.

Besoknya drama dimulai, saya mulai sesak nafas, setiap tarikan nafas menyisakan nyeri di pundak bagian kanan, semakin bernafas semakin nyeri hingga ke dada kanan, yang dapat saya ingat orang serumah gaduh, histeris melihat saya dengan nafas yang tesengal-sengal dan kesakitan. Mereka melarikan saya ke rumah sakit terdekat di daerah Tanjung Bunga, Makassar. Kali ini saya benar-benar tidak berharap pada siapapun, saya sudah siap apapun yang terjadi jika memang sesampainya di sana, orang-orang masih berhamburan duduk di lantai rumah sakit tersebut dan lorong-lorong IGD masih dipenuhi tempat tidur dengan pasien di atasnya, lalu, kalau saja, saya tidak mendapatkan kesempatan berobat lalu pergi meninggalkan semuanya, saya memohon agar segalanya dimudahkan. Saya benar-benar sakit kali ini, karena sejauh ini sesakit-sakitnya saya, pasti bakalan minta digantiin baju dulu sebelum dibawa ke rumah sakit sementara hari itu tidak.

Di dalam mobil sepanjang jalan menuju rumah sakit dan di tengah sakit dan sesaknya nafas, saya terus berdoa agar apapun yang terjadi yaa Allah, tolong jaga anak-anak dan bayi saya, jika saya tidak dapat mendampingi mereka tumbuh dan menyusui lagi bayi saya, saya sudah ridho. Sesekali ada sesuatu yang dingin mengalir dari mata saya lalu merembes pada mukena dan aliran dingin itu dilap oleh mba Nur -pegawai di salon saya- dengan tangannya yang juga dingin. Rupanya dia ikut mengantar sambil terus menggenggam tangan saya erat. “Sabar mba Unga, sabar ki…” begitu bisiknya tak lepas ber-istighfar.

Saya tidak tahu apakah ini akhir dari segalanya; saya sesak, demam, kelelahan dan baru saja berkunjung dari daerah zona darurat COVID 19, di sana saya bertemu banyak orang dari berbagai belahan bumi ini, bersalaman, berdekatan lalu saya merasa ada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja dengan keluhan sesak yang seperti ini. Satu-satunya yang saya pikirkan adalah bagaimana jika saya positif COVID 19 dan saya menulari orang-orang di rumah.

Dulu sepupu saya pernah bercerita saat Ia ada dalam keadaan kritis dan terjadi pendarahan hebat karena kanker rahim, pada saat itu dia bertanya pada dirinya; “Mungkin gua udah mau mati yah? Kok begini banget yaa Allah, udah gak bisa gerak dan darahnya ngucur kayak keran gitu? Apa iyyah gua bakal mati yah? Tapi… Ah belum deh kayaknya, belum kayak di tipi-tipi gitu!”. Cerita itu teruuus ajah teringat berulang di kepala saya, kadang kelepasan ngakak sendiri kalau teringat lagi, tapi kali ini saya udah gak bisa ngakak! Beneran kali ini saya sesek nafasnya udah kayak di sinetron-sinetron itu! -mau bilang “kampyeet!” gak enak-.

So, ketika kita hanya berharap pada Allah, maka tidak ada harapan yang sia-sia, rumah sakitnya tidak terlalu ramai dan ada tempat tidur yang kosong, juga tersedia ruang rawat inap. MasyaaALLAH mau nangis! Tapi sesek… Dokter menyarankan rawat inap apapun yang terjadi untuk observasi lebih lanjut, saya juga udah pasrah.

Bayangkan ketika dunia disibukan pandemi COVID 19, saya saat itu tengah berada dalam sebuah kamar tertutup di sebuah rumah sakit dengan gejala sesak. Setiap orang yang masuk ke ruangan saya memakai masker lalu keluar dari kamar, entah suster apa dokter selalu ajah pencet hand sanitizer yang nempel di dinding, betapa ngebuat parno banget yah?! Walaupun dihantar karena infeksi luka di kepala, jenis tindakan dan pengobatan yang saya jalanin mirip-mirip pasien COVID 19, ada photo thorax, ada pengambilan sampel lendir, ada usg penentuan pengambilan sampel lendir, dll

Baru sehari rawat inap muncul pula peraturan jika semua rumah sakit sudah memberhentikan jam besuk! Hayolooh… kekhawatiran mana lagi yang kamu dustakan? Setelah sebelumnya sempat gak peduli dengan apa yang terjadi, sore di hari yang sama saya dipindahkan dari IGD ke kamar perawatan, saya kedatangan teman sekamar yang juga histeris kesakitan. Yaa Allah disisa-sisa doa ini, semoga saja orang sebelah itu bukan sesak nafas! Dari pembicaraan dokter dan emaknya pasien sebelah kesakitan sepertinya bukan karena sesak tapi sakit kepala pasca operasi sinus. Alhamdulillah yaa ALLAH…!.

Kudapan yang menyentuh hati, walaupun tampangnya jelek tapi rasanya enak! XD

Dalam hari-hari itu saya berusaha meredam berbagai emosi yang timbul karena informasi yang saya baca tentang pandemi ini lewat ponsel, selera buat ngelawak hilang- saya lebih serius, selera jajan online saya juga hilang, bahkan saya udah gak peduli lagi kalau beneran berakhir di lantai 7 rumah sakit itu. Sekali lagi, kekhawatiran terbesar saya adalah menulari orang-orang tercinta lalu mungkin saja mereka tidak seberuntung saya mendapat layanan pengobatan yang sangat baik jika sesuatu yang buruk terjadi, naudzubillah.

Jujur! Saya merasa tidak seperti saya yang sesungguhnya, sepinter-pinternya saya, di hari-hari itu saya bener-bener tidak mau jadi lebih pintar dari siapapun, saya hanya menghabiskan waktu dengan berdoa, melakukan ruqyah mandiri, menghabiskan makanan; semua sayur dan buah yang disediakan rumah sakit, meminum banyak air hingga pipis-pipis, memandang langit yang mulai memerah-hingga gelap kemudian hanya menatap lampu-lampu yang bersinar dari kejauhan hingga membuat malam indah lalu tertidur, membuka mata kembali dan mendapati hari baru juga dengan langit merahnya serta cahayanya yang hangat, hari ke-2, 3, 4, 5, dan seterusnya dan seterusnya lalu segalanya semakin membaik hingga pernyataan yang dinanti terdengar, “Besok sudah bisa pulang!” Alhamdulillah, terima kasih Yaa Allah!.

Ternyata kondisi emosi dan mental seseorang diuji lebih besar ketika sakit dalam masa pandemi, tak hanya itu bagi saya ada beban moral yang tak kalah besarnya ketika kamu tidak menjaga diri dengan baik terlebih jika kamu menyandang status PDP.

Semoga wabah ini segera berakhir dan semoga Allah menjaga kita semua, teruslah berdoa, InsyaaAllah semua akan kembali baik, kita akan kembali baik, kamu akan kembali baik, saya akan kembali baik dan tentu saja kalian akan kembali baik. Hikmah kebaikan diri akan terus menerus memproduksi nilai-nilai kebaikannya dan kebenaran tidak lagi meragu untuk bertandang dalam hati kita semua. Semoga besok kita masih dapat menikmati jalan basah selepas hujan di mana takbir-takbir bergema dan ada hati yang selalu merinduNya.

Semoga kalian baik-baik saja di manapun keberadaan memintamu untuk diam, karena saya pastikan, sayapun akan baik-baik saja untuk bertemu kembali dengan kalian di tempat dalam rasa yang jauh lebih baik. Malam ini, sekali lagi doa-doa terbaik melangit untuk kalian! Tetap di rumah yah, sampai jumpa…

9 thoughts on “Please di Rumah Ajah!”

  1. Meskipun sudah tau gafis besar ceritanya tapi pas baca detail begini jadi ikutan sesak nafas ka hiks

    Sehat2 selalu unga, semoga wabah ini cepat berlalu, semoga kita semua selalu dalam lindunganNya, bisa ketemu2 dan jumpa2 lagi. Aamiin.

  2. Ini yang saya suka dari caranya kak Ungs menulis. Mengalir ceritanya 😀
    Alhamdulillah nda apa-apa ji, dan bisa sehat kembali seperti semula

    Anyway, ada award untuk kak Ungs di blogku yaa

  3. Sebisanya jangan sampai sakit di masa pandemi seperti sekarang ini, bakalan lebih repot dari biasanya kak. Sehat selalu semuanya 🙂

  4. Dalam keadaan pandemi seperti ini, tetap di rumah memang keputusan terbaik.

    Tetap sehat-sehat, ya, untuk Unga dan sekeluarga. I’m sending a virtual hug~ *peluks*

    Senang juga saya bisa jadi inspirasi Unga ngeblog postingan ini, padahal saya sebenarnya terinspirasi dari teman2 AM yamg masih rajin posting 🤣

Comments are closed.