Separuh nafasku
Terbang bersama dirimu
Saat kau tinggalkanku
Salahkanku
Pernah dengar lirik tersebut? Pernah melalui hari-hari berarti dengannya? Jika iya pasti masa remajamu menyenangkan! –hallah- Jika tidak, kamu boleh tetap tinggal di rumah selama tidak ada urusan mendesak dalam masa pandemi ini hingga tidak perlu merasakan separuh nafas yang terbang.
…
Hening, di depan sana langit berwarna biru, warna yang sangat jarang digambarkan langit masa-masa sebelum pandemi. Di sana pula awan terlihat berarak bahagia, begitupun rasa yang ada jauh dalam dada ini. Kursi kayu bercat putih yang biasanya terasa keras, kali ini memberikan rasa nyaman bergeming hingga langit mulai memerah. Sore, Ramadan, duduk, diam, menikmati langit, menatap awan ditemani sepoi angin yang menimbulkan gemerisik pada dedaunan adalah hal yang akan saya rindukan, harga yang sangat mahal. Saya menangis! Tapi saya bahagia…
Waktu-waktu ini sudah melewati hari ke 60 di mana kasus pertama Covid 19 ditemukan di Indonesia, yang sudah berjuang untuk tetap di rumah jika tidak ada kepentingan mendesak adalah mereka yang sudah menang atas dirinya sendiri, apalagi kalau tetap produktif dan kreatif. Dengan adanya pandemi ini, pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), berarti kita diharap berdiam di rumah, melakukan jaga jarak fisik. Hidup akan berakhir? Tentu saja tidak…
Sebab tahun ini kita sekali lagi masih diberi kepercayaan berjumpa dengan Ramadan, waktu menanam kebaikan, bulan penuh berkah bertabur hikmah. Walau banyak yang berubah karena ia hadir saat pandemi; tidak ada sholat berjamaah, tidak ada sholat tarawih bahkan sholat Ied berjamaah sementara rindu ini pada Ramadan sudah tidak terbendung. Namun yakinlah tak ada yang kebetulan di dunia ini, hikmah besar sedang menanti untuk kita reguk dalam-dalam, malam-malam Ramadan akan bertabur kemuliaan dan berkah.
Tetap Sehat
Sebulan telah berlalu, tepatnya 46 hari kepulangan saya setelah rawat inap karena keluhan sesak nafas yang berakhir di IGD salah satu rumah sakit di kota ini. Tidak pernah terbayang saya akan ada dalam keadaan se-drama belakangan ini, jalan dari teras ke dapur saja membutuhkan energi yang besar, segalanya mungkin terlihat biasa-biasa saja namun sama sekali gak santai. Gemetar saat melangkahkan kaki walau hanya 2-3 langkah hingga membutuhkan istirahat sejenak dan mengatur nafas kembali, berulang seperti itu terkadang disertai keringat dingin hingga mau pingsan. Bersyukur masih dapat pulang ke rumah hidup-hidup setelah pulih dari status Pasien Dalam Pengawasan (PDP).
Karena kehidupan terus berlanjut di separuh nafas ini saya masih mampu menjalankan puasa dan berusaha tetap sehat untuk mereka yang mencintai saya. Kesempatan terbuka lebar memperbaiki rutinitas hadir saat Ramadan dalam pandemi ini, perlahan tapi pasti saya mulai menyukai berjemur di bawah sinar matahari pagi, mengkonsumsi banyak air dan memberi penghargaan atas tubuh yang mulai sehat ini dengan berolah-raga.
Selain itu saya juga berusaha untuk mengkonsumsi makanan sehat, memperbaiki pola makan dan keamanan pangan di rumah yang mengacu pada penanganan, persiapan dan penyimpanan makanan dengan cara terbaik untuk mengurangi resiko saya kembali sakit atau anggota keluarga yang sakit akibat dari penyakit yang dibawa oleh makanan ataupun karena kesalahan dalam penanganan bahan pangan. Apalagi saat ini pasar atau tempat berkumpul dengan keramaian adalah tempat yang harus dihindari.
Tetap Produktif
Mempunyai banyak waktu di rumah membuat saya memperhatikan bagian yang selama ini luput, membersikan rumah misalnya. Sebenarnya membersihkan rumah adalah hal yang wajar, tapi kali ini saya melakukannya benar-benar total, dari kamar, ruang keluarga, dapur sampai teras, perlahan tapi pasti. Saya juga berbenah pakaian, hal yang paling saya hindari, beruntung saya memang tidak memiliki banyak koleksi pakaian, hanya abaya yang saya gunakan pun modelnya itu-itu saja. Abaya andalan yang saya desain lalu produksi secara massif. Jadi jangan heran jika kita bertemu, model abaya yang saya gunakan tidak pernah berubah. Ohya, selain dipakai sendiri abaya ini juga dijual, silahkan sist…! Hihi.
Hal serupa juga saya terapkan pada pakaian anak dan suami, baju-baju yang tersisa adalah baju yang sering mereka pakai dan beberapa lembar pakaian untuk menghadiri acara-acara tertentu. Konsep minimalis ini memberikan hasil yang positif. Berkantung-kantung baju dapat digunakan oleh orang lain, bermanfaat, lemari jadi lebih lowong hati pun plong!. Selain pakaian saya juga berusaha merelakan koleksi buku, peralatan masak, perabotan, sepatu, sofa dan membuat daftar barang mana saja yang masih boleh dan tidak berbagi ruang di rumah saya.
Hingga Zahra dan Faiza –anak saya- ikut memisahkan boneka-boneka mereka, memasukannya dalam kantung besar, merelakan boneka-boneka itu untuk diadopsi anak-anak siapa saja yang lewat depan rumah. Percayalah berbagi tak akan membuatmu jatuh miskin, bahkan jika harta yang kau miliki hanya selembar baju yang kau kenakan. Berkat berbagi, kami lebih punya banyak cinta dan cinta menyembuhkan segala luka!. Ciyee…
Setelah merapihkan pakaian dan barang-barang yang ada di rumah saya mulai melirik koleksi tanaman yang selama ini hidup tak sanggup matipun enggan. Mereka yang sudah kering itu adalah saksi bahwa saya orang yang setia dengan tidak membuang mereka begitu saja. Saya akui hubungan kami begitu alot, tapi kesetiaan juga saling percaya membuatnya tidak mustahil dan sore ini mereka dapat berbahagia menjadi bagian dari gemerisik daun yang tertiup sepoi angin.
Tidak sampai di situ, walau dengan kondisi selemah-lemahnya saya saat ini, saya masih mengisi beberapa kajian online. Tumpukan proyek rajutan yang mangkrak pun mulai saya benahi hingga koleksi benang seluruhnya akan menjadi produk rajutan. Koleksi kain-kain kesayangan juga saya jadikan masker, kegiatan menjahit tangan ini sangat saya nikmati, hingga dapat menstabilkan emosi yang hasilnya juga memuaskan, rapih. Lalu karena kebanyakan, sisanya saya jual, bukan berarti pelit, ini proses penyembuhan diri yang sangat sempurna!?. Hehe.
Tetap Bahagia
Tepukan kecil mengagetkan saya, sebaris rapih gigi dewasa yang baru tumbuh dihiasi senyum indah terlontar dari bibir Faiza. “Momih, adek bangun” begitu katanya sambil berusaha menggendong bayi yang hampir tumpah dalam pelukannya. Bayi bulat bermata sipit itu ikut tersenyum, merengek minta diambil dengan menggerak-gerakan kakinya tak karuan sambil terus melebarkan senyuman hingga gusinya terlihat. Saya meraihnya dan mendekap erat, Wero duduk dengan mantap dalam pelukan saya.
Sayup-sayup terdengar suara motor yang familiar di telinga kami hingga Faiza langsung lari menghabur ke jalan depan rumah melompat-lompat di susul dengan Zahra kakaknya tak kalah heboh dari dalam rumah. “Abiiiii!!” Teriak mereka berbarengan. Ayah mereka kembali, pulang dari kantornya, dia tidak libur, instansi tempatnya bekerja adalah salah satu yang tidak menerapkan ‘Bekerja dari Rumah’ “Eh, masuk! Masuk! Masuk!” teriakan abi membuat suasana gagal romantis! Sementara adzan maghrib mulai berkumandang menandakan buka puasa telah tiba saatnya berkumpul bersama orang-orang terkasih, satu-satu kami masuk ke dalam rumah meninggalkan langit indah yang semakin memerah lalu menikmati hidangan buka puasa bersama; menyeruput teh hangat manis, bakwan dan kurma kualitas istimewa hadiah dari sahabat.
Mungkin kita perlu seseorang yang membuat hari-hari ini berarti, tapi yakinlah yang berhak menentukan kebahagian itu adalah diri kita sendiri. Cepat sadari, ini adalah waktu yang tepat untuk kita memperbaiki segalanya, ada jeda dalam waktu yang ditawarkan untuk menjalin hubungan yang mungkin sempat terputus, memperbaiki yang hancur, mengistirahatkan semesta dan tentu saja untuk kita memperbaiki diri dengan mengisi jiwa ini dengan amal-amal sholeh.
Ramadan akan segera pergi walau pandemi meminta untuk tinggal sedikit lebih lama, bertahanlah karena kita semua akan menjadi pemenang, nafas ini akan kembali utuh. Marhaban yaa Ramadhan, semoga Allah menjaga teman-teman semua, tetaplah bahagia dengan segala kebaikan dan kebenaran. #ceritakudarirumah
Mbak..sekarang bagaimana kondisinya? Masih ada keluhan sesak nafas?
Tulisan mbak Unga..bagus..aku ikut terlarut dialaminya.. 🙂