“Film ini mungkin ndak cocok buat yang suka dengan cerita yang “berat”. Tapi buat mereka yang merasa jiwanya kering dan haus rayuan manis serta butuh hiburan, bolehlah”. Begitu bunyi kalimat paragraf penutup dari tulisan teman saya tentang sebuah film remaja yang -saya yakin lebih tepat menyasar emak-emak- tengah booming akhir-akhir ini, Dilan 1990.
Sebenarnya saya tidak terlalu berharap banyak dari film ini selain ingin ngumpul bersama teman dan emang iseng ajah nonton film buat lucu-lucuan. Secara saya bukan penikmat film “ringan”, “berat” apalagi horor! Hemat saya, ngapain saya nonton cuma buat memperkeruh pikiran, hati dan jiwa ato nggak buat ditakut-takutin selama 2 jam penuh dan harus bayar pula. Tapi karena alasan tadi maka saya menerima tawaran mereka untuk melepas rasa penasaran seiring banyaknya orang yang membicarakan Dilan, bahkan dalam sebuah kelas menulis yang saya ikuti sekalipun, kala mengulas tulisan fiksi.
Saya sudah cukup khawatir akan telat bertemu dua teman saya untuk memenuhi sebuah janji ini. Sebab siang itu tepat pukul 12.00 Wita saya seharusnya sudah berkemas dan meninggalkan ruangan simposium yang tengah membahas kajian K3 –Keselamatan dan Kesehatan Kerja- untuk bertemu dengan mereka, namun urung hingga sejam kemudian.
Setelah dhuhur dan makan siang sesegera mungkin, akhirnya saya bertemu mereka pada sebuah mall baru di pinggir kota Makassar, tidak jauh dari tempat simposium saya berlangsung. Untuk sebuah mall, tempat itu sangat sepi, spesialnya ia memiliki gedung bioskop yang baru, disitulah kami janjian. Ya, kami akan menonton Dilan sore itu.