Pergilah ke Pasar, Unga!

pic : braddasista
pic : braddasista

Kamu tahu tidak Unga?, sebagian besar penghasilan masyarakat ada di Pasar Tradisional!
Hari itu kamu menghabiskan uangmu satu juta delapan ratus ribu rupiah untuk belanja bulanan di sebuah pasar modern. Pasar yang dengan angkuhnya akan merampas hidup orang-orang yang berjibaku dalam kehidupan pasar tradisional, tempat mereka menggantungkan hidupnya.
Pasar yang akan mematikan salah satu sendi perekonomian sebuah kota. Pasar yang akan menggerus memori indah tentang kehidupan yang semestinya. Ya!, walaupun memang benar hidup ini harus berubah.

Saya akui, saya adalah bagian kecil dari kesombongan itu. Saya juga sadar secara tidak langsung berperan mematikan pertumbuhan ekonomi pasar tradisional. Bagaimana tidak, saya memang akan selalu memilih belanja di pasar modern. Walaupun hanya untuk membeli garam dan sekatung bawang putih. Pilihan sejuk, nyaman, terang dan bersihlah yang membuat saya menghadapi kenyataan ini. Mau bilang apa? Itu kenyataan!. Mau lari dari kenyataan…? Sudah gak jaman!.
Hal ini saya lakukan terus menerus sejak saya menjadi emak-emak dan terjun langsung dalam kerasnya hidup ini.
Saya amat malas melakukan perjalanan panjang menyusuri jalanan nan becek pasar tradisional. Becek dan kotor tentunya. Itulah alasan utama saya menjatuhkan pilihan pada pasar modern. Walaupun sejujurnya, jauh di dalam hati saya, saya tidak setuju dengan hal ini.

Dan hari itu, akhirnya saya membuang semua ego saya tentang kebersihan dan kuman-kuman yang akan menempel di seluruh tubuh saya, jika saya pelesir ke pasar tradisional. Tekat sudah bulat, restu dari yang ngasih duit belanja juga sudah ditangan dan yang pasti, pemberi restu tadi bersedia mengantar saya liburan ke pasar tradisional. Liburan yang tidak pernah saya impikan sebelumnya.
Sepanjang perjanan saya terus berpikir bagaimana menyelamatkan kaki saya agar kaki saya tidak kena cipratan air penjual ikan, atau menginjak sayur dan buah-buahan busuk yang tersebar begitu saja. Lalu saya-pun sempat ingin menawar agar perjuangan ini dipindahkan hari lain saja sambil memikirkan alasan bodoh lainnya tentang derita sepasang kaki.
Tapi apa mau dikata, tempat liburan istimewa minggu itu telah ada di depan mata. Amat sangat tidak mungkin untuk membatalkan liburan kali ini, melihat pemberi restu yang juga sponsor uang belanja begitu bersemangat mengantar istrinya nan anggun rupawan ini ke pasar!. ( gak usah protes!, pahami saja itu sebagai mukjizat :P).
Saya disambut oleh segerombolan penjual cabai yang berjajar di pintu masuk, disusul penjual sayur dan buah. Tapi tujuan saya hari itu adalah membeli ayam. Saya sudah mulai tidak nyaman ketika beberapa orang pengunjung berjalan tidak karuan dan menimbulkan cipratan disana-sini dari tempatnya lewat. Saya mulai mengerutkan kening dan ingin menyudahi saya perjalanan ini, terlebih ketika melewati penjual-penjual ikan yang antusias membasahi ikan-ikan julannya dengan cipratan-cipratan airnya yang dahsyat.

Salah satu cobaan kehidupankah ini?. Maka jika ya, saya harus melaluinya agar naik kelas ( pret ! ). Mulai saat itu juga saya berusaha merubah pikiran saya tentang betapa tidak menyenangkannya tempat itu. Saya berusaha tidak peduli ketika ujung sandal saya tenggelam dan membuat licin seluruh permukaan sandal yang saya kenakan. Saya berusaha tidak peduli dengan kengerian jari-jari kaki saya tentang semua ini dan berusaha sesantai mungkin menjalaninya.

“Berapa ayamnya Pak?”. Tanya saya ketika mendapati penjual ayam potong.
“40 ribu bu…”.
Kata orang-orang, menawar adalah hukum wajib saat di pasar. Maka saya coba menawar, ala emak-emak yang sudah expert nawar, seperti ibu di depan saya.
“Mahalnya Daeng, 30 ribu moh satu”
“Idedeeeh… ndak bisa bu, ayam abege ji itu bu, begitu harganya !”
Hahahah… Kampyet nih tukang ayam. Antara mau ketawa dan jengkel saya berusaha tegar dan tidak berekspresi aneh sedikitpun.
“Tiga puluh tujuh setengah moh bu, ambilmi !”. Katanya lagi.
“35 ribu nah…” kembali saya berusaha menawar.
“Aii, ayam kacuping itu bu…..!“

Patoatoai!. Lalu saya pun meninggalkan penjual ayam sok gaul itu. Berusaha mempraktekkan kiat khusus menawar versi lainnya. Yang mana dan masih kata orang, pura-pura gak butuh mujarab untuk mendapatkan barang yang yang kita inginkan dengan harga yang pas (pas dengan mauta buk! XD). Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah, lima langkah… ternyata kata orang yang satu ini tidak berhasil! Hahahah…!. Saya dicuekin sama tukang ayam.
Dengan demikian saya merubah daftar belanjaan dari ayam menjadi daging. Lebih karena gengsi kembali ke penjual ayam dan gengnya yang menertawai saya.

Pembelian daging berjalan cukup lancar, saya menawar daging seharga daging yang biasanya saya dapatkan di pasar modern untuk perkilonya.
Lalu saya menyampaikan hal ini pada sponsor utama uang belanja kami. Dia masih bilang; “Itu masih mahal dek, tawarnya yang bener… “. (Duh Rangga, lo ajah deh yang nawar, lo gak liat nih perjuangan cinta sedemikian besarnya? -..-).
Tapi saya mulai menikmati hangatnya pasar ketika mendapati buah-buah segar yang harganya amat sangat jauh dari harga di pasar modern. Dan yang pasti kualitasnya tidak kalah.
Lalu saya juga membeli bumbu-bumbu masakan. Membeli tanpa menawarnya. Toh harganya sama saja jika saya berbelanja di pasar modern, agak lebih murah sedikit malah.

Ternyata liburan di pasar tradisional tidak sesuram apa yang saya pikirkan. Hanya dengan uang 300ribu saya dapat membawa pulang berbagai macam bahan makanan untuk persedian seminggu, sekantong buah-buahan segar.
Melihat hiruk-pikuk pagi di pasar itu ternyata membangkitkan semangat tersendiri buat saya. Ada suasana lain yang tiba-tiba menyentuh kalbu ( halah ). Saya mulai betah melihat kegiatan pasar, terlebih saya terkenang almarhumah ibu saya, saat dia selalu mengajak saya ke pasar dan membekali saya kue cubit sebelum masuk pasar agar saya-pun anteng menemaninya berbelanja.
Menyenangkan…

“Bu..!… Oe Ibu!”
Sontak saya menoleh. Ternayata tukang ayam yang tadi.
“Oe Ibu, kiambilmi bu 35ribu ! hanya 35 ribu!. Khusus untuk ibu cantik!!”.
Patoatoai mentong !. kenapa tong lewatka lagi depannya. Tapi dengan langkah pasti saya mendatanginya.
“Soowwrry daeng, saya ndak beli ayam abege !”. Bisikku sampil tersenyum padanya.
Saya-pun pulang dengan suka cita sambil menikmati kue cubit yang masih hangat.

 

 

____

patoatoai : ejek/ mengejek / jahil ( ngeyek )
mentong : memang ( bisa diartikan ; memang )

7 thoughts on “Pergilah ke Pasar, Unga!”

Comments are closed.