Bowo menatapku tanpa suara, dia hanya melihatku lekat dengan matanya yang bulat lucu. “apa liat ?!!!”(…upss…)
Hah !!, seandainya aku tidak mual mungkin itu yang sudah aku katakan pada Bowo sambil membelalakkan mata.
Setelah puas memandangiku, Bowo kembali bercakap-cakap dengan Ibu yang selalu menemaninya setiap hari hingga pelajaran benar-benar dimulai. Lalu sesekali aku mendengar mereka tertawa lepas.
Bowo adalah teman sekelasku sejak pertama kali aku menyadari bahwa kami sekelas, entah kapan, aku lupa, tapi tepatnya di SD ini, SDN Gotong-Gotong I, Makassar.
Bowo berkulit sawo matang, matanya bulat lucu, wajahnya tidak memiliki ekspresi dengan sisiran rambut hitam mengkilat yang selalu rapih dan melekat di kelapanya. Aku tidak pernah dapat membedakan saat dia tersenyum atau tertawa jika tidak mendengar suara cekikikan seperti orang tercekik yang menandakan bahwa dia sedang tertawa.
Selama ini aku benar-benar jarang memperhatikan Bowo, aku hanya melintasinya setiap pagi menuju tempat dudukku. Bowo jarang bermain dengan anak-anak yang lain. Bowo memakai alat bantu berjalan dan terlihat ringkih. Dan lagi-lagi aku tidak tahu mengapa dia memakai alat seperti itu, jalannya memang terlihat sedikit tidak normal. Mungkin itu sebab Bowo tidak pernah mengikuti upacara bendera, mengikuti kelas olahraga atau senam kesehatan jasmani tiap jumat walaupun ia tidak pernah absen mengenakan seragam olahraga setiap hari jumat.
Hingga aku memuntahi mejanya pagi itu, dan dia terlihat sangat syok, pucat, mungkin hingga nafasnya terhenti untuk beberapa saat. Aku tak bisa berbuat banyak selain memasang wajah memelas dan berusaha untuk tidak muntah lagi dan membuat Bowo pingsan sambil menatapku dengan matanya yang bulat. Aku berusaha menutup wajahku, menenangkan pikiranku dan memikirkan nasibku jika muntah saat upacara sedang berlangsung dan tidak segera kembali ke kelas.
Melihat keadaanku yang seperti itu, Ibu yang bersama Bowo berusaha menolongku, sesegera mungkin dia membersihkan bekas muntahanku. Sementara Bowo menyodorkan botol minumnya kepadaku. Aku hanya tersenyum dan kembali mendekap wajahku dalam lipatan tanganku di atas meja. “Minum sedikit, airnya masih hangat…”. Begitu kata bowo. Setelah lama berpikir, akhirnya aku meminum air hangat yang Bowo tawarkan untukku. Untung saja hari itu masih pagi. Aku sangat berharap Bowo masih belum menggunakan botol itu untuk minum, sebelum aku meminumnya terlebih dulu.
“Terima kasih…”. Kataku mengembalikan botol itu ke Bowo. Sungguh luar biasa, tiga teguk air hangat yang diberikan Bowo bisa menyegarkan perasaanku, mualku berangsur hilang. Lalu Bowo sekali lagi Bowo menolongku dengan sebotol minyak kayu putih dari saku bajunya.
Wibowo nama panjangnya, hari itu Ia mengajari seorang anak kelas IV SD tentang ketulusan. Terima kasih Wibowo.
mantap gan, menarik sekali artikelnya, terus berkarya 🙂
mantap gan, menarik sekali artikelnya, terus berkarya 🙂
thanks untuk articlenya sob..
maju terus dalam berkarya dan salam kenal yach..
thanks untuk articlenya sob..
maju terus dalam berkarya dan salam kenal yach..
Sebuah ketulusan yang sangat berarti..
Sebuah ketulusan yang sangat berarti..
thanks sob untuk postingannya…
article yang menarik,saya tunggu article berikutnya yach.hehe..
maju terus dan sukses selalu…
salam kenal yach…
kunjungi blog saya ya sob,banyak tuh article2 yang seru buat dibaca..
http://chaniaj.blogspot.com/
thanks sob untuk postingannya…
article yang menarik,saya tunggu article berikutnya yach.hehe..
maju terus dan sukses selalu…
salam kenal yach…
kunjungi blog saya ya sob,banyak tuh article2 yang seru buat dibaca..
http://chaniaj.blogspot.com/