Jangan Menilai Buku Dari Sampulnya; Maman Suherman

sudah minta ijin sama yang punya photo
sudah minta ijin sama yang punya photo

Saya tahu sekarang siapa itu Maman Suherman. Dia bukan saja laki-laki botak yang dulunya juga punya rambut, pelaku belakang layar beberapa program televisi, notulen Indonesia Lawak Klub yang tampil disetiap akhir acara, seorang penulis dengan beberapa bukunya yang wajib (saya) baca, wartawan berhati lembut (ciiyeee…), atau seorang ayah yang begitu ingin mendandani putrinya dengan hijab warna-warni penuh bunga. Tapi dia juga seorang anak dari ibu yang luar biasa.

“Jangan menilai buku dari sampulnya”. Sekali lagi pernyataan itu saya dengar saat Maman Suherman tengah mengisi obrolan santai kemarin malam (16/03/15) di sebuah kedai pojok kota ini, Makassar. Pernyataan ini sedikit banyak membuat saya risih. Dimana-mana setiap orang secara gak sengaja ataupun sengaja, selalu menggunakan pernyataan tersebut untuk membuktikan kwalitas sebuah produk yang jauh lebih bernilai dari kemasannya. Namun terkadang, pernyataan ini beralih fungsi menjadi perumpamaan. Misalnya ketika menggambarkan orang jelek yang ternyata punya satu kunci-kunci dunia talenta dan cerita menarik #Eh.

Padahal terus terang, saya sering membeli buku karena terpesona dengan sampulnya. Kalian juga kan? Akui saja… XD.

Jadi setelah mendapatkan informasi bahwa AngingMammiri.Org (AM), Komunitas Blogger Makassar akan menjadwalkan bincang ringan bersama Maman Suherman, saya menganggapnya biasa-biasa saja. Siapa Maman Suherman? Saya tidak kenal! Bahkan bisa saya pastikan dia juga tidak mengenal saya (yaiyelaah… pffft!) Lalu sebuah poster yang akan disebar pun muncul untuk direvisi bersama dalam group internal AM.

Dalam poster itu, nampak Maman Suherman tengah tersenyum manis. Lagi-lagi saya berusaha mengenalinya dengan beeerulang-kali zoom in – zoom out poster tersebut dan memastikan apakah walaupun saya tidak mengenalinya tapi seorang Maman Suherman akan dapat membuat saya terpesona.

Tapi sepertinya saya harus meyakinkan diri sendiri bahwa memang, saya tidak mengenal Maman Suherman dari sudut manapun saya melihat gambarnya. Saya juga memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut tentang siapakah dia. Hingga akhirnya —Alhamdulillah— ada juga yang menanyakan siapa beliau itu dan membuat saya tidak perlu merasa sendirian di dunia ini (Belakang diketahui ternyata saya telah mengikuti akun twitternya sejak lama… huhuu… :’D ).

Malam itu saya datang terlambat, entah obrolan telah berjalan sejauh mana ketika Maman Suherman tengah membahas Melur (kalau tidak salah) yang menabur bunga pada sebuah makam tanpa nisan, kemudian berkata “Saya tahu siapa ibu saya”.

“Ibu” adalah kata yang dapat menarik perhatian saya melebihi semangkuk besar es krim coklat dengan banyak krim blueberry di atasnya. Ketika orang berbicara tentang Ibu, Ibu mereka, Ibu teman-teman mereka, ibu pacar-pacar mereka, bahkan Ibu mertua mereka atau Ibu mertua saya, saya dengan takjub akan menaruh perhatian besar pada orang tersebut. Sebab mereka tengah membicarakan orang-orang besar yang ada di dunia ini. Hingga sepertinya saya turut merasakan perasaan Melur, perasaan rindunya pada ibu yang mungkin saja akan tertulis dalam buku sambungan dari Re:.

Re: adalah salah satu buku non fiksi Maman Suherman dengan 161 halaman. Judul Re: diambil dari suku kata ke-2 dalam bagian kata pe-rem-pu-an. Re: merupakan kisah nyata yang dibukukan dan bersampul biasa-biasa saja ini, bercerita tentang satu sisi kelamnya kehidupan perempuan sebagai penjaja kenikmatan semu sesamanya perempuan.

Jrengjreeng!! Saya tidak pernah membayangkan akan menemukan lalu membaca buku seperti ini. Karena memang saya menutup diri dengan jenis bacaan dan cerita yang seperti itu. Namun ketika Maman Suherman menceritakan proses dan perjalannya bahkan pertemanannya dengan tokoh dalam Re: hingga memperkenalkan “Melur” yang menyadari siapa ibunya, buku ini dapat saya pastikan ada dalam daftar bacaan saya minggu ini.

Rasanya saya ingin mendengar lebih banyak lagi cerita Maman Suherman. Cerita tentang buku-bukunya, cerita tentang dinamika perkotaan yang gemerlap, cerita tentang teman-temannya, cerita tentang rahasia orang-orang yang tidak boleh kau sebut namanya atau cerita apa saja yang dikemas dengan santai dan menyenangkan. Sayangnya waktu memang selalu membatasi. Dan ternyata “Jangan melihat buku dari sampulnya” itu betul juga. Terima kasih kang Maman, atas waktu yang telah disediakan untuk kami. Saya berjanji tidak akan melihat Maman Suherman hanya dari sampulnya.

Satu kunci-kunci dunia : Istilah yang menggambarkan sesuatu yang tidak terbatas.

Salam.