Walau tidak lahir dan menghabiskan seluruh waktu di Makassar, tapi jika kelak harus pergi nanti, inginnya Makassar adalah tempat saya melihat segalanya untuk terakhir kali. Ada banyak hal yang membuat saya mencintai kota ini walau-pun dari hari ke hari semakin semraut saja;
Hampir setiap ruas jalan akan tergenang air jika hujan turun hingga untuk sampai ke suatu tempat memakan waktu lebih lama; antrian kendaraan dalam satu jalur kadang berjarak 2 meter saja, mau tidak mau kaki mesti terlatih untuk terus menginjak pedal rem; Ada banyak bangunan berdiri menutup langit padahal di sebelahnya ada rumah penduduk dengan dinding yang saling menempel dan anak-anak berlarian tak tentu arah; Ada perluasan lahan berjudul revitalisasi yang menyudutkan matahari hingga benar-benar tak lagi nampak laut menelannya perlahan hingga menyisakan warna jingga di langit senja.
Tak sampai di situ, pesisir yang dulunya berair kini bertanah coklat dengan sisa pijakan ban selebar rentangan tangan dimana-mana. Lalu tiba-tiba, tanah coklat itu memiliki sertifikat hak milik yang diberitakan papan-papan kayu bercat putih dengan huruf kapital besar berwarna hitam bertuliskan nama pemiliknya. Terus itu semua salah siapa? Salahkan saja rumput yang bergoyang.
Continue reading “Saya Dan Lima Hal Yang Menarik Dari Makassar”