Hari ini saya bermaksud memasang banner Indonesian Hijab Blogger pada blog kesayangan saya, setelah sebelumnya ikut dalam kopdar perdana Indonesian Hijab Blogger di London café, Makassar. Pikir saya, ini adalah komunitas Fashion Hijab yang penuh warna warni. Maka ketika undangan tentang kopdar ini dikabarkan oleh kak Nanie, saya berkali-kali bertanya tentang komunitas apa ini. Saya takut akan jadi terlalu cantik jika bergabung dengan Komunitas Hijabers yang pada umumnya sangat fashionable dan fenomenal XD.
Pergilah ke Pasar, Unga!

Kamu tahu tidak Unga?, sebagian besar penghasilan masyarakat ada di Pasar Tradisional!
Hari itu kamu menghabiskan uangmu satu juta delapan ratus ribu rupiah untuk belanja bulanan di sebuah pasar modern. Pasar yang dengan angkuhnya akan merampas hidup orang-orang yang berjibaku dalam kehidupan pasar tradisional, tempat mereka menggantungkan hidupnya.
Pasar yang akan mematikan salah satu sendi perekonomian sebuah kota. Pasar yang akan menggerus memori indah tentang kehidupan yang semestinya. Ya!, walaupun memang benar hidup ini harus berubah.
Saya akui, saya adalah bagian kecil dari kesombongan itu. Saya juga sadar secara tidak langsung berperan mematikan pertumbuhan ekonomi pasar tradisional. Bagaimana tidak, saya memang akan selalu memilih belanja di pasar modern. Walaupun hanya untuk membeli garam dan sekatung bawang putih. Pilihan sejuk, nyaman, terang dan bersihlah yang membuat saya menghadapi kenyataan ini. Mau bilang apa? Itu kenyataan!. Mau lari dari kenyataan…? Sudah gak jaman!.
Hal ini saya lakukan terus menerus sejak saya menjadi emak-emak dan terjun langsung dalam kerasnya hidup ini.
Continue reading “Pergilah ke Pasar, Unga!”
Piknik (yang selalu) Asyik Bersama Anging Mammiri
Hari ini Zahra dan Faiza berjanji bangun lebih awal, setelah sehari sebelumnya diiming-imingi akan pergi mengunjungi arena bermain air, Bugis Waterpark.
Kakak-beradik yang ajaib ini memang susah sekali diajak bangun pagi, bagaimana tidak, jam tidurnya hampir tidak pernah dibawah jam 12 malam ( kalah-kalahmi tukang ronda -..- ).
Dan pagi ini, ternyata mereka ingkar, buktinya mereka masih tidur pulas, bahkan setelah sempat sebelumnya bangun sebentar kemudian melanjutkan tidurnya. Akhirnya mau tidak mau pemaksaan-pun terjadi, lalu dengan masih separuh nyawa dan jalan yang sempoyongan mereka berusaha tegar melewati pagi ini. Turun dari tempat tidur, memakai sandal dekil mereka, naik ke mobil, lalu kembali tidur XD.
Continue reading “Piknik (yang selalu) Asyik Bersama Anging Mammiri”
Blogger ; dunia tak se-sempit pikirku!

Untung saja ada lomba ini, jika tidak… mungkin saya gak akan pernah sadar kalau sudah lupa dengan password blog ini :’(.
Tidak mau dikatakan blogger!. Pikir saya, seorang blogger itu, mereka yang hebat menulis, mengerti bahasa pemrograman, dan mengerti tentang hal-hal yang tidak saya mengerti :p. Pokoknya jagolah!.
Ternyata, hanya dengan berbekal blog gartisan sekalipun, jiwa-jiwa (sok) penulis saya mulai tertantang. Saya mulai menulis hampir semua kejadian yang saya alami untuk saya bagi di dunia tak berbatas ini. Hampir setiap hari!. Bayangkan betapa produktifnya saya (dulu). Apalagi bisa dibilang saat itu saya adalah jenis pegawai yang memiliki jam-jam sibuk dan penting yang tidak bisa saya lewatkan begitu saja (gaya!). Tapi karena sedikit ruang itulah, maka saya berusaha mengisinya dengan cinta (bwee..).
Bowo Mengajarkanku tentang Ketulusan
Bowo menatapku tanpa suara, dia hanya melihatku lekat dengan matanya yang bulat lucu. “apa liat ?!!!”(…upss…)
Hah !!, seandainya aku tidak mual mungkin itu yang sudah aku katakan pada Bowo sambil membelalakkan mata.
Setelah puas memandangiku, Bowo kembali bercakap-cakap dengan Ibu yang selalu menemaninya setiap hari hingga pelajaran benar-benar dimulai. Lalu sesekali aku mendengar mereka tertawa lepas.
Bowo adalah teman sekelasku sejak pertama kali aku menyadari bahwa kami sekelas, entah kapan, aku lupa, tapi tepatnya di SD ini, SDN Gotong-Gotong I, Makassar.
Bowo berkulit sawo matang, matanya bulat lucu, wajahnya tidak memiliki ekspresi dengan sisiran rambut hitam mengkilat yang selalu rapih dan melekat di kelapanya. Aku tidak pernah dapat membedakan saat dia tersenyum atau tertawa jika tidak mendengar suara cekikikan seperti orang tercekik yang menandakan bahwa dia sedang tertawa.
Surat Untuk Paccarita
Dear Pacca, Tidak terasa ya, tahun ini kamu sudah berumur 7 tahun. Rentang itu bukanlah waktu yang singkat dan hal yang mudah untuk aku bersamamu melaluinya. Ada banyak cerita yang mungkin bisa aku kenang jika tidak bersamamu lagi.
Aku memang tidak ikut dalam proses melahirkamu, atau mungkin sekedar khawatir dengan proses kelahiranmu. Aku berjumpa denganmu ketika engkau sudah mulai belajar berjalan, dua atau tiga langkah kecil. Tapi tak mengapa, aku sudah cukup senang berkesempatan mengganti popokmu atau memandikanmu dan mungkin mengajakmu jalan-jalan sore lalu menangkap kecebong di got depan rumah Pak RT.
Ya, tidak banyak yang bisa aku lakukan untukmu. Apalagi ketika aku mempunyai anak di tahun ke-empat kebersamaan kita. Ada kekhawatiran yang berlebih jika aku tidak bisa berbagi lagi denganmu. Atau mungkin akan ada ruang dan jarak yang tercipta untukmu.
Maaf, bukan berarti meng-anak tirikan kamu. Tapi itulah kehidupan, akan terus berjalan.
Berjalan seperti umur yang terus bertambah, waktu yang tidak berhenti ataupun tanggalan yang selalu berganti. Tapi ingatlah mereka terus melaju, terus kedepan. Maju dan tidak mundur !.
Ini Keren !!!
Pernah mengalami hal seperti itu?
Ya, saya pernah. Tapi bedanya saya terjebak oleh dinamika perumusan dan diagram pada mata pelajaran ekonomi. Saya yakin, 90% hasil dari soal ekomoni untuk ulangan waktu itu tidak akan saya terapkan nanti. Buktinya, hari ini, tanpa diagram itupun saya baik-baik saja, masih bisa makan tumpeng ultah AM yang ke-tujuh dan jalan-jalan ke paris (iyyah, nanti kalo ada rejeki fufufu…) #7ThnAM
Malangnya, hanya karena diagram tolol dan jawaban yang menurut guru ekonomi saya sama tololnya dengan apa yang saya pikirkan tentang diagram itu, nilai ekonomi saya di raport, merah, angka 4 yang ditulis dengan sempurna menggunakan tinta merah dari pulpen kesayangan wali kelas saya, tertera dalam rapot kelas 1A caturwulan ke-tiga, membuat saya menghabiskan hidup di kelas 2 dengan anak-anak yang diragukan untuk masuk IPA. Emangnya, di kelas IPA nanti ada pelajaran ekonomi ? ada ? gak ada !
Tapi sudahlah, saya sudah memaafkan mereka… #halah. Karena saya percaya padaNya, kalau kita harus saling memaafkan.
First Love ; Tertulis !

Saya telah menanti-nanti apa tema minggu kelima dalam tantangan ngeblog 8 minggu bersama Anging Mammiri, Komunitas Blogger Makassar. Begitu sampai di kantor, saya langsung serta merta membuka email untuk melihat apa yang terjadi di group anging mamiri. Ternyata, tentereeeeeng.. tema minggu ini adalah “Cinta Pertama”. Saya agak yakin panitia lomba lagi iseng dan ingin membahas cinta pertama yang ditujukan untuk orang-perorangan *Asumsi =D. Baiklah mari kita bahas tentang Cinta Pertama.
Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu kelima.
Ini adalah tema yang membuat saya sedikit pusing. Saya berharap tema seperti ini tidak pernah muncul untuk dijadikan tantangan. Iyya, karena saya tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Bukan, bukan karena saya tidak memiliki cinta pertama. Atau mungkin karena saya ingin menutupinya ? bukan, ternyata bukan itu pula alasannya. Alasannya adalah saya bingung harus menentukan siapa cinta pertama saya. Itu karena saya terlalu sering jatuh cinta mungkin ?! =D.
Maka saya akan mulai cerita cinta ini pada saat saya SMA. Kelas 2 SMA saya bersekolah disalah satu sekolah menengah atas swasta Katholik terbaik di Makassar. Seragam tiap senin – selasa kala itu adalah putih-putih, seragam rabu-kamis layaknya anak sma lainnya putih-abu-abu, dan jumat-sabtu pakaian bebas. Kalian bebas mengekspresikan diri dengan jenis pakaian yang akan kalian gunakan, mengasyikkan..!
Kuning, Ada Yang Mau ?
Jangan Tanya warna kesukaan saya, bisa tiba-tiba berubah dalam hitungan detik. Terakhir kali, saya memilih warna kuning sebagai warna kesukaan. Mungkin karena seperti… seperti salah satu dari para rangers dalam film serial televisi anak jaman saya SMP “Power Rangers”.(Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keempat).
Ranger kuning dalam film serial itu digambarkan dengan sosok remaja wanita kulit hitam yang cerdas dan aktif bernama Aisha, ia bisa berubah menjadi salah satu dari enam rangers dengan seragam berwarna kuning. Saya mungkin cerdas dan aktif tapi kulit saya tidak hitam-hitam amat. Kalau mau disamakan dengan Aisha, tentu saja saya akan menolak. Walaupun saya suka dengan tokoh Aisha dalam serial televisi itu, tapi saya tidak mau seperti Aisha yang suka pake hotpants atau tanktop.
Saya sih lebih maunya disamakan dengan Ummul Mukminin Aisha Radhiallahu Anha. Bukan saja beliau cerdas dan aktif, beliau juga sudah dijamin masuk surga.
Jadi kenapa saya memilih menyukai warna kuning? Tidak ada alasan untuk itu. Saya memilihnya secara acak. Tapi kebetulan saja setiap barang yang menarik perhatian saya akhir-akhir ini warna kuning. Misalnya saja saat ini saya tertarik membeli casing hp salah satu tokoh kartun yang identik dengan warna kuning.
Oh ya, ada sedikit cerita tentang kuning dan Spongebob ini. Dulu waktu saya hamil anak pertama, saya pernah ngidam balon karakter tokoh ini ketika (lagi-lagi) seorang penjual balon melintas di depan saya dengan segerombol balon dagangannya.
Engkau bukan Kartini !
Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu ketiga.
Sebenarnya aku ingin menempatkan ibu sebagai sosok perempuan yang menginspirasiku. Tapi ternyata tempat itu tidak cocok baginya. Ia ada di tempat teratas sebagai perempuan pujaanku.
Ia ada dalam tulisan yang aku puisikan, dan surat-suratku yang khusus aku tujukan untuk Tuhan semesta alam. Ketika aku menggunakan kata ganti pertama dalam sebuah tulisan; “aku” maka tulisan itu penuh berisi kedekatanku dengan apa yang aku tulis. ciyeee…
Dulu, sejak duduk di bangku smp, aku adalah orang yang tidak suka pelajaran matematika. Bukan karena sulit, tapi karena susah. Menghitung pohon faktor, menghitung garis tengah sebuah lingkaran, menghitung kecepatan yang berakhir pada fisika, itu hanya buang-buang waktu dan menyebalkan.
Menurut aku matematika itu adalah pelajaran tidak penting. Hingga akhirnya, pada kenaikan kelas aku bertemu dengan ibu Norma. Seorang wanita paruh baya yang anggun dan cantik. Kulit putih walaupun tak bisa dipungkuri ada garis-garis keras yang membentuk wajahnya, tetapi selalu berhiaskan senyum yang amat sangat menentramkan jiwa.
Safari guru dan jilbab yang beliau kenakan selalu bersih dan rapih. Awalnya aku tidak yakin beliau adalah guru matemaika. Biasanya model guru matematika itu sama menjengkelkan dan membosankan dengan sampul depan buku pelajarannya. Tapi tidak dengan ibu Norma. Sosoknya begitu dominan mengubah aura suram pelajaran matematika menjadi menyenangkan. Tapi bukan, bukan beliau yang menginspirasiku beberapa tahun terakhir.